Joko Sumaryono Abu Fida Rabbani

Reformasi dan Reformulasi Gerakan Mahasiswa

Joko Sumaryono, Lc.

Kilas Balik Sejarah
Pentas sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tak pernah sepi dari teriakan dan kobaran semangat kaum muda anak bangsa ini. Dari Sabang sampai Merauke genderang perlawanan terhadap imperialisme ditabuhkan. Seolah tak peduli dengan tetesan darah dan air mata yang harus mengalir, yang penting nusantara tercinta harus segera dihantar ke gerbang kebebasan dan kemerdekaan. Perjuangan berat dan melelahkan itu pun akhirnya melabuhkan kemenangan. Tepat pada hari Jumát 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. “Merdeka” itulah satu kata yang penuh getar terucap dari lisan yang diiringi kepalan tangan penuh semangat menggelora.

Gerbang kemerdekaan dan kebebasan yang telah terbuka di depan mata, ternyata bukan perjuangan singkat. Daftar pejuang dan pahlawan nasional yang kita baca dalam literatur sejarah, adalah salah satu bukti perjalanan panjang tersebut. Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Fatahillah, serta sederetan nama lainnya telah mengukir sejarah Indonesia dengan tinta emas. Mereka telah membaktikan kiprah mereka untuk membangun republik ini. Begitu pula dengan peran yang telah disumbangkan oleh kelompok cendikiawan dan kaum terpelajar diawal abad ke-20 yang nanti pada akhirnya menjadi cikal bakal perjuangan nasional.

Tanggal 20 Mei 1908, bisa dicatat sebagai pondasi awal pergerakan mahasiswa Indonesia dalam struktur dan mekanisme organisasi modern. Sejumlah pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar di STOVIA saat itu, merasa perlu membangun sikap kritis terhadap kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu rantai penjajahan. Keresahan mereka untuk membangkitkan kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, mendorong mereka untuk mendirikan Boedi Oetomo. Pergerakan yang mereka munculkan berkembang pesat, bahkan hanya dalam satu tahun tepatnya di akhir tahun 1909 Boedi Oetomo telah memiliki 40 cabang dengan jumlah 10.000 anggota.
Pergerakan mahasiswa Indonesia pada dekade itu ternyata tidak hanya berkembang didalam negeri saja. Di Belanda, Mohammad Hatta yang pada saat itu sedang belajar di Handelshogeschool Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging pada tahun 1922 dan pada akhirnya berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Hatta bersama kawan-kawannya saat itu sangat intens melakukan berbagai diskusi.

Selain Boedi Oetomo dan Indische Vereeninging yang dipelopori kelompok mahasiswa dan kaum terpelajar, pergerakan bangsa ini pun juga diwarnai dengan munculnya Indische Partij yang menekankan prioritas perjuangan mereka untuk melontarkan propaganda kemerdekaan. Diwaktu yang bersamaan Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama serta Indische Sociaal Democratische Vereeninging yang berhaluan marxisme juga ikut bergelut dalam medan pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan.
Lahirnya Boedi Oetomo, Indische Vereeninging, dan gerakan terorganisir lainnya pada saat itu, adalah satu episode penting permulaan sejarah Indonesia yang ditandai dengan tampilnya generasi pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai garda terdepan. Estafet perjuangan terus bergulir seperti bola salju yang terus menggelinding, semakin lama semakin membesar. Kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa untuk bangkit meraih kemerdekaan terus terpatri. Perbedaan suku, bangsa dan bahasa akhirnya melebur setelah sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 diikrarkan.

Prototipe Pergerakan Mahasiswa
Dalam perjalanannya, romantisme pergerakan mahasiswa tidak bisa lepas dari dua segmentasi dasar perjuangan. Seyogyanya dua sisi ini menyatu dalam diri seorang mahasiswa sehingga tercipta tokoh pergerakan yang cerdas dalam tataran konsep dan idealisme, sekaligus cakap mengarahkan arus pergerakan ditengah-tengah perubahan kehidupan sosial yang bergerak sangat cepat.

Pertama, mahasiswa sebagai kelompok elit masyarakat berbasis intelektual dan wawasan yang mumpuni, terus bergerak menggali berbagai potensi kecendikiaan. Intelektual muda dengan latar belakang sains yang berbeda adalah ciri utama mereka. Segala sesuatunya harus dukur dengan standarisasi rasional. Diskusi dan tukar fikiran adalah aktivitas harian yang selalu hangat dalam setiap obrolan. Mereka terus bergerak dalam poros pergerakan intelektual dan dunia akademis yang terus berkembang. Oleh karenanya prestasi akademis harus terus dipacu. Berbagai spesialisasi bidang ilmu harus melahirkan para doktor dan tenanga ahli yang tahan uji.

Kedua, Sosok mahasiswa adalah individu yang tidak terpisahkan dari komunitas sosial kemasyarakatan. Dinamika sosial pun sudah tentu harus menjadi dinamika mereka. Sangat naif jika seorang mahasiswa tidak pernah memberikan kontribusi positif buat masyarakat disekitarnya. Apalagi jika tidak pernah berinteraksi serta tidak peduli. Seorang mahasiswa dalam tataran ideal harus menjadi aktor utama perubahan dan pergerakan sosial. Inderanya selalu peka dengan perubahan sekitar, ia selalu terpanggil untuk memberikan solusi. Bahkan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan pun mereka tidak gentar untuk meneteskan peluh dan darah mereka demi membebaskan republik ini dari belenggu penindasan dan penjajahan.

Saya kira siapapun tidak berbeda pendapat tentang dua dimensi dasar karakter pergerakan dan perjuangan mahasiswa diatas. Namun kita akan mulai berbeda pendapat ketika dihadapkan pada realita pluralisme ideologi dan kepentingan yang diusung sebuah pergerakan apapun. Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa sepanjang sejarah bangsa ini juga tidak bisa dilepaskan dari pergolakan dan pertarungan ideologi yang diusungnya. Terkadang kepentingan pada saat-saat tertentu atau kondisi yang mengharuskan, membuat gerakan mahasiswa tidak bisa dilakukan dalam satu pola saja.
Sejarah mencatat, rentang waktu antara tahun 1920 – 1945 gerakan mahasiswa hanya terkonsentrasi pada diskusi-diskusi seputar diskursus kebangsaan seperti yang dilakukan oleh Soetomo yang mendirikan Indonesische Studie-club pada tanggal 29 Oktober 1924. Atau apa yang dicetuskan Soekarno dan beberapa rekannya di Sekolah Tinggi Teknik Bandung yang berhaluan nasionalis ketika mendirikan Algemeene Studie-club pada tanggal 11 Juli 1925.
Mari kita coba bandingkan tatkala pergerakan mahasiswa memasuki era 45-an. Sikap penjajah Belanda yang liberal akhirnya melatar belakangi perubahan kebijakan pergerakan dari kelompok studi dan kajian menjadi kekuatan politik dalam bentuk partai dengan tujuan untuk memperoleh basis massa yang lebih luas. Penjajah Belanda cukup memberikan kebebasan bergerak yang cukup pada saat itu. Situasi akhirnya berbeda ketika Jepang berkuasa. Pergerakan mahasiswa yang sudah mengarah kepada pergerakan politik di berangus oleh Jepang. Kegiatan dan aksi yang berbau politik dilarang. Seluruh organisasi pelajar dan mahasiswa dibubarkan sehingga sempat terjadi insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang berujung ketika beberapa mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat situasi yang tidak kondusif untuk melakukan pergerakan massif dan terbuka akhirnya mayoritas pergerakan mahasiswa kembali terfokus kepada kelompok studi dan kajian strategis dengan mengambil tempat asrama-asrama mahasiswa sebagai pusat kegatan. Tercatat dalam sejarah, ada tiga asrama mahasiswa yang terkenal berperan besar melahirkan sejumlah tokoh nasional era 45-an. Tiga asrama itu adalah asrama Menteng Raya, asrama Cikini dan asrama Kebon Sirih. Barangkali nama Chairul Saleh dan Sukarni yang terkenal dalam sejarah dengan peristwa Rengasdengklok, adalah mereka yang mewakili era gerakan bawah tanah pada saat itu.

Pasca kemerdekaan spirit pergerakan mahasiswa mulai berubah haluan. Banyak aksi mahasiswa berlindung dibawah payung partai-partai politik. Persoalannya bukan berarti gerakan mahasiswa tidak boleh berafiliasi kepada ideologi atau partai tertentu. Yang menjadi masalah adalah, ketika fanatisme kelompok diangkat diatas kepentingan nasional bangsa ini. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) lebih dekat dengan PNI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan partai NU, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dekat dengan PSI atau Himpunan Mahasiswa Islam yang saat itu dekat dengan Masyumi.

Gerakan Mahasiswa dan NKK/BKK
Kontribusi gerakan mahasiswa terhadap pembangunan bangsa pasca kemerdekaan sampai tahun 1978 sangat nyata. Bahkan orde baru yang baru saja runtuh, kelahirannya di bidani oleh gerakan mahasiswa yang dikenal dengan sebutan angkatan ’66. Para aktivis mahasiswa era ini akhirnya menjadi tokoh nasional dan pemegang kebijakan pemerintahan. Beberapa nama seperti Akbar Tanjung, Cosmas Batubara dan Sofyan Wanandi adalah tokoh nasional yang mewakili angkatan 66.

Namun realitas berbeda ketika memasuki era 70-an. Orde baru yang berkuasa saat itu mulai mendapatkan kritikan dan protes mahasiswa. Konfrontasi fisik pun tak terelakkan. Orde baru yang didukung militer berusaha menjadi tameng orde baru. Mahasiswa menilai Golkar sudah mulai melakukan kecurangan. Bahkan beberapa kebijakan pemerintah sudah dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil. Privatisasi dilakukan disana sini. Imbasnya lahir gerakan ‘Mahasiswa Menggugat’ yang dipelopori Arif Budiman serta Wilopo yang membentuk Komite Anti Korupsi.

Sampai tahun 1974 berbagai peristiwa terjadi. Akibat kekecewaan terhadap pemerintah, lahirlah Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dipelopori oleh Arif Budiman dan Adnan Buyung Nasution dan puncak kekecewaan tersebut terjadi pada peristiwa Malari pada tanggal 15 Januari 1974. Mahasiswa pada saat itu harus berhadapan dengan kekuatan militer yang ditunggangi pemerintah yang berkuasa. Akhirnya nyaris pasca peristiwa tersebut blantika pergerakan mahasiswa sepi.

Akhirnya gerakan massif mahasiswa terjadi lagi pasca pemilu 1977, sampai pemerintah membentuk tim dialog pemerintah yang akan berkampanye di perguruan-perguruan tinggi. Saat itu kampus-kampus diduduki oleh militer. Puncaknya adalah dikeluarkannya SK No.0156/U/1978 tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Penerapannya dilakukan secara paksa oleh pemerintah. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim.

Akibatnya, peran dan gerakan mahasiswa dalam skala intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan komunikasi politik menjadi lumpuh. Mahasiswa semakin apatis sementara rezim penguasa semakin kuat. Akhirnya pergerakan mahasiswa banyak menyusup kedalam gerakan-gerakan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang dianggap tidak tersentuh kekuatan refresif penguasa.

Harapan kembali muncul ketika NKK/BKK dihapuskan oleh Mendikbud Fuad Hasan diawal 90-an. Sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) yang menyatakan bahwa hanya Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang diakui sebagai organisasi intra kampus. SMPT membawahi SMF (Senat Mahasiswa Fakultas) dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Pro kontra tidak sedikit terjadi karena konsep ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep NKK/BKK sebelumnya.

Ternyata gerakan perjuangan mahasiswa pasca kemerdekaan justru selalu berhadapan dengan rezim penguasa. Status quo yang begitu kuat sangat sulit diruntuhkan karena penguasa di back up oleh militer yang seharusnya netral. Ketika kita balik lembar sejarah bangsa ini, ternyata pergerakan mahasiswa kembali mencapai puncaknya ketika rezim orde baru berhasl diruntuhkan pada tanggal 22 Mei 1998 yang dikenal dengan gerakan reformasi.

Reformasi dan Reformulasi Gerakan Mahasiswa Menurut Perspektif ‘Saya’
Saya sebenarnya tidak ingin memberi penilaian terhadap kontribusi pergerakan mahasiswa Indonesia sepanjang sejarahnya. Namun dari realita yang ada, saya terpaksa harus mengatakan bahwa pergerakan mahasiswa selalu bergerak dari pondasi yang keropos. Isu yang selalu bisa menyatukan adalah ketika mereka harus berhadapan dengan common enemy (musuh bersama). Seperti yang dilakukan gerakan mahasiswa pra kemerdekaan melawan penjajah dan tatkala mereka harus secara bersama meruntuhkan tembok orde baru yang korup.

Sayangnya, idealisme murni pergerakan mereka sangat mudah tercemari pasca aksi bersama. Terlebih ketika harus berhadapan dengan kedudukan dan janji-janji materil yang menggiurkan. Menurut saya, hal ini adalah salah satu bentuk kemunafikan pergerakan. Akibatnya, proses pembangunan peradaban akan semakin lambat menuju puncaknya. Kita perlu menemukan solusi serius kearah itu dan merupakan suatu hal yang tidak mustahil untuk dilakukan.
Ketika kita berbicara tentang reformasi pergerakan maka sebanarnya kita sedang membicarakan karakteristk dasar seorang aktivis pergerakan sejati. Dan ketika kita ingin membincangkan reformulasi gerakan maka sejujurnya kita sedang membicarakan cita-cita luhur seorang aktivis pergerakan sejati. Agar pergerakan mahasiswa selalu positif dan terarah, maka menurut saya perlu dibangun terlebih dahulu karakter dan keperibadiannya. Nilai-nilai kebaikan universal harus terbentuk terlebih dahulu. Kejujuran, kerja keras, solidaritas, kematangan emosional, kematangan spiritual, dan sebagainya harus terbina dengan baik. Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah sebuah pergerakan semu yang dihiasi dengan kepentingan-kepentingan sesaat.

Oleh karenanya, saya lebih cenderung untuk menerapkan teori pembinaan pribadi menurut perspektif Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat-sahabatnya. Hal ini dapat kita buktikan dengan keberhasilan Rasulullah saw melakukan perubahan-perubahan besar sejarah manusia yang masih kita rasakan pengaruhnya hingga hari ini. Kurun waktu yang relatif singkat dalam akumulasi masa 23 tahun ternyata begitu kokoh dan mengakar sebagai pondasi peradaban Islam hingga hari ini.

Pembinaan tiga dimensi diri yang meliputi fisik, spritualitas dan intelektualitas secara terencana dan terevaluasi adalah solusi kongkrit untuk melahirkan aktivis pergerakan mahasiswa yang maju dan modern. Ketimpangan salah satu sisi diatas justru akan melahirkan sosok aktivis mahasiswa yang berkepribadian hipokrit. Disamping itu, formulasi pergerakan pun harus jelas. Formulasi meliputi tahapan-tahapan kerja, tujuan dan target baik tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Gerakan pun harus diarahkan kepada pencapaian target membangun masyarakat madani yang beretika, berilmu dan maju. Menurut saya, jika hal itu belum mampu kita formulasikan maka gerakan apapun sifatnya akan selalu berumur pendek. Wallahu a’lam.

Kemenangan Itu Bermula Dari Dua Gua Sempit

Kita selalu bercita-cita meraih kemenangan, tapi sayang kita tak pernah mengerti persepsi menang yang sesungguhnya. Kita masih ragu untuk mempertahankan prinsip dan keyakinan yang benar ditengah hegemoni kebathilan yang dan keraguan yang menggoyahkan iman. Kita jangan pernah takut untuk dikucilkan manusia dan terpinggirkan, karena itu hanya sesaat dan yakinlah bahwa Allah SWT tidak pernah lalai terhadap hamba-hamba-Nya. Kita sangat yakin Allah SWT tidak pernah ingkar janji…walaupun kita tahu bahwa kemenangan itu bisa jadi akan lahir berabad-abad yang akan datang dan setelah silih bergantinya generasi, namun paling tidak kita telah ‘menang’ dalam mempertahankan prinsip dan keyakinan.

Joko Sumaryono Abu Fida Rabbani

Joko Sumaryono, Lc.

Paradigma kemenangan sering kali kita definisikan secara sempit dan selalu kita ukur dengan tercapainya cita-cita dan tujuan akhir yang selalu dinanti dan diharapkan. Untuk mendefinisikan ‘menang’ secara subyektif, maka terminologinya akan selalu mengerucut bahwa kemenangan itu akan berbanding lurus dengan kemenangan kisi materil dalam hidup. Nilai kemenangan selalu disetarakan dengan sisi-sisi yang bersifat materil dan dapat dirasakan langsung. Seringkali kita merasa menang ketika kita mampu menyudutkan orang-orang yang tak sepaham dengan kita,  kita merasa menang ketika kita mampu membungkam musuh politik kita, kita merasa menang saat kita dapat semena-mena memuaskan syahwat kebinatangan kita diatas darah dan air mata manusia lainnya. Padahal kemenangan tidak selalu dapat diukur dengan standar demikian.

Persepsi ‘menang’ seperti ini sering dipahami dan diimani oleh manusia-manusia penyembah materi yang sepanjang hidupnya tidak punya tekad dan keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kebathilan dan bahkan cendrung memusuhi kebenaran yang terang benderang seperti terangnya sinar matahari. Bagi manusia jenis ini, saat obsesi-obsesi dunia mereka tidak tercapai…

Lihat pos aslinya 2.255 kata lagi

Pelajaran Dari Bumi Para Nabi

Pelajaran Dari Bumi Para Nabi

Jujur…tak ada kata pujian yang tepat untuk mengungkapkan perasaan ini. Antara percaya dan tidak, ditanah ku pijak ini aku begitu banyak menyaksikan orang-orang luar biasa. Aku menyaksikan begitu banyak potret kehidupan seperti negeri dongeng yang belum aku saksikan di belahan bumi lainnya.

Di tanah ini, nilai-nilai suci agama tidak terhenti pada indahnya retorika dakwah di mimbar-mimbar dan tabligh akbar. Di tanah ini orang-orang luar biasa tampak berpenampilan biasa dan kulihat mereka tak suka basa-basi. Di tanah ini aku lihat perempuan-perempuan pemberani mengalahkan laki-laki hebat yang pernah kulihat di negeriku sendiri.

Tanah ini telah mengajarkanku arti penting sebuah keyakinan kepada janji Allah, mentalqinkan kepadaku makna kejujuran pada nurani dan kebenaran, mengingatkan kepadaku betapa banyak kebohongan-kebohongan ditutupi oleh jubah kebesaran dan manisnya kata-kata hikmah yang menipu.

Cairo, 25 Januari 2015

Menelaah Akar Terorisme; Antara  Agama Dan Kepentingan Politik

 Joko Sumaryono, Lc

Sepanjang sejarah Islam, hubungan antara ketinggian nilai-nilai luhur agama dengan prilaku masyarakatnya terukur dengan fakta bahwa keberagamaan umat Islam diberbagai penjuru dunia tampak secara kesat mata dalam karakter kepribadian dan produk budaya mereka sehari-hari. Umat Islam di Eropa telah menyumbangkan produk ilmu pengetahuan dan budaya yang sangat tinggi yang ikut membangun cikal bakal kemajuan Eropa yang kita saksikan pada hari ini. Sentuhan Islam di Kawasan Afrika dan Timur Tengah pun hingga hari ini masih dapat kita rasakan betapa ajaran Islam telah benar-benar memberikan kontribusi besar kemajuan dan kehebatan negara-negara yang berada di kawasan ini. Eksistensi Islam juga semakin kuat di wilayah Asia Tenggara selama berabad-abad lamanya bahkan semakin bias mewarnai percaturan global dunia pada saat ini.

Berbicara aksi teror dan kelompok-kelompok yang muncul sebagai ikon teror, setidaknya sepanjang abad 20 kita tidak mendengar adanya aksi teror yang dihubungkan dengan doktrin atau pemahaman akan doktrin agama yang diperankan oleh kelompok-kelompok baik yang mengatasnamakan Islam atau agama lainnya didunia.  Justru yang menghebohkan dunia dengan segala bentuk aksi terornya sepanjang abad 20 ini adalah aksi-aksi yang dijalankan oleh berbagai kelompok dengan berbagai macam ideologi yang berbeda dan cendrung bermuatan politik.

Sebagai contoh, kelompok teroris yang eksis di Jerman Barat yang dikenal dengan Faksi Pasukan Merah atau masyhur dengan sebutan Baader-Meinhof yang dalam bahasa Jerman disebut Rote Armee Fraktion. Kelompok ini adalah organisasi teroris sayap kiri Jerman Barat yang paling aktif  dan terkemuka pasca perang dunia. Mereka mendeskripsikan diri sebagai “Gerilya Urban”. Faksi ini eksis di Jerman rentang 1970-an hingga akhir 1998. Mereka melakukan banyak Kejahatan, terutama pada musim gugur 1977, yang membawa ke krisis nasional yang dikenal sebagai “Musim Gugur Jerman” (German Autumn). Faksi ini bertanggung jawab atas 34 pembunuhan pejabat dan orang-orang penting serta banyak menyebabkan luka berat dan ringan bagi banyak orang selama 30 tahun keberadaannya. Faksi ini banyak dihubungkan dengan organisasi-organisasi teroris Jerman lainnya seperti J2M dan SPK, dan pada tahun 1980-an kelompok ini juga membangun jaringan dengan kelompok sayap kiri Italia, Brigade Merah; dengan kelompok sayap kiri Belgia, CCC; kelompok sayap kiri Palestina, PFLP; dan kelompok sayap kiri Perancis, Action Directe; serta juga IRA dan PLO.

Tak hanya di Jerman, di Italia pun selalu diwarnai aksi-aksi teror yang dilakukan oleh sebuah kelompok yang menamakan diri mereka dalam bahasa Italia dengan Brigate Rosse. Kelompok ini eksis sekitar tahun 1970-an. Italia dibuat rusuh dengan ulah mereka selama bertahun-tahun lamanya. Diantara kejahatan yang mereka lakukan adalah penyanderaan dan pembunuhan Mantan Perdana Menteri Italia, Aldo Moro pada tahun 1978. Kelompok yang berideologi Marxisme-Leninisme ini ingin mendirikan negara revolusioner melalui peperangan dan punya target besar untuk mengeluarkan Italia dari NATO.

Berpindah ke Asia, kita juga membaca sejarah bahwa di Jepang dahulu pernah berkembang sebuah kelompok teror yang dikenal dengan Tentara Merah Jepang atau Japanese Red Army. Kelompok ini didirikan oleh seorang mantan agen intelijen perempuan di Jepang yang bernama Fusako Shigenobu. Fusako, dikenal sebagai ‘Ratu Teror Merah’ serta ‘Teroris Perempuan Paling Ditakuti’. Organisasi teror ini berkembang sejak tahun 1970 sampai tahun 2000. Kelompok ini berideologi komunis dan bercita-cita memperjuangkan kesejahteraan kaum proletar yang terpinggir dan berniat menumbangkan kekaisaran Jepang dengan tujuan menabuh genderang dimulainya gerakan revolusi berskala internasional.

Aksi terorisme juga pernah dilakukan kelompok kiri Palestina sekitar tahun 1970-an. Mereka melakukan pembajakan pesawat dan menculik tokoh-tokoh penting. Di Mesir juga ternyata sempat muncul sebuah kelompok yang didirikan dan dipimpin oleh Mahmud Nuruddin yang mereka beri nama Organisasi Nasionalis Nashiriyah. Kelompk ini melakukan aksi pembunuhan dan penculikan diplomat asing di kota Cairo. Namun organisasi yang dipimpin Mahmud Nuruddin ini kemudian berhasil diberangus setelah Mahmud Nuruddin ditangkap dan dipenjara seumur hidup.

Menarik untuk dicermati bahwa dalam rentang waktu tersebut, yaitu sekitar 40 tahun aksi teror merambah dunia, tidak satupun aksi teror yang dituduhkan kepada Islam atau kelompok-kelompok Islam atau organisasi-organisasi pergerakan Islam lainnya. Padahal Islam yang dianut dan diamalkan pada era tersebut tidak berbeda dengan Islam yang dianut pada hari ini. Organisasi dan pergerakan Islam yang berkembang pada era tersebut adalah organisasi yang sama ada pada hari ini. Hal ini menunjukkan sebuah indikasi kepada kita bahwa dogma Islam dan ajarannya jauh dari nilai-nilai kekerasan dan aksi teror sebagaimana yang disematkan kepada Islam dan organisasi-organisasi dakwah dan pergerakan Islam pada hari ini.

Perlu dicatat bahwa akar terorisme sebenarnya sangat erat hubungannya dengan iklim politik yang sedang berlangsung. Kedikatatoran dan sikap politik yang skeptis dan arogan ternyata berpeluang melahirkan gerakan ‘balas dendam’ atas kesewenang-wenangan, penindasan, perbudakan dan semua bentuk pemaksaan dan ketidakadilan. Kondisi sulit ini secara merata hampir menimpa seluruh negara yang memiliki basis Islam mayoritas. Namun demikian, hanya segelintir kelompok Islam saja yang kemudian terpengaruh untuk melakukan aksi balas dendam ‘teror’ sebagai bentuk ketidakpuasan.

Terorisme bukanlah embrio yang lahir dari rahim agama atau teks-teks agama sebagaimana yang diekspos media. Bahkan di era 70-an terorisme lahir dari rahim ideologi marxisme dan nasionalisme. Terorisme justru lahir sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang diperankan oleh para penguasa otoriter dan diktator. Situasi ini memaksa para pemuda khususnya, dan masyarakat umum dalam berbagai level untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk. Dalam prakteknya, perlawanan ini bisa saja berubah dari aksi damai sampai kepada aksi dengan menggunakan berbagai bentuk kekerasan. Dan sangat perlu dicatat bahwa dalam kelompok manapun dan apapun ideologi yang dianut, biasanya memiliki spirit dan ideologi pemikiran yang dijadikan landasan gerak dan juang. Jadi tidak benar jika dogma agama (baca;islam) saja sebagai salah satu penyebab terjerumusnya orang-orang yang menganut faham kekerasan untuk melakukan balas dendam atau untuk memperjuangkan sebuah perubahan.

Agama (islam),adalah agama yang sakral dan suci dari bias terorisme. Islam dengan seluruh ajaran luhurnya adalah agama yang membangun, bukan menghancurkan. Islam adalah agama yang ramah dan menghormati, bukan menghabisi kelompok lain. Islam adalah agama kasih sayang dan cinta kasih, bahkan kepada hewan dan tumbuhan sekalipun. Tidak benar jika seorang muslim menjalankan ajaran Islamnya dengan secara sempurna lalu ia berubah wujud menjadi seorang teroris yang menakutkan. Tidak benar jika Islam diperjuangkan dalam setiap dimensi kehidupan, penganutnya serta merta di cap sebagai ‘Islam Politik’ yang pada akhirnya dengan mudah akan dikelompokkan kepada kelompok teroris yang harus diberangus.

Munculnya aksi terorisme seharusnya menjadi tanggung jawab tokoh-tokoh politik yang ‘gagal’ menjalankan amanah sebagai pengemban amanat rakyat. Kepercayaan rakyat dimanipulasi untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri, kroni dan kerabat dekat. Kekuasaan dijadikan sebagai alat untuk menutup rapat pintu kebebasan berpendapat dan berkumpul, disamping kekuasaan juga sering dijadikan tameng untuk menutupi semua kejahatan-kejahatan politik yang dilakukan. Kekuasaan yang otoriter cendrung digunakan untuk membangun dinasti kekuasaan yang mengakar dan diwaktu yang sama mematikan peran kelompok-kelompok lain yang berseberangan baik secara pemikiran dan politik apalagi jika politik tersebut mengatasnamakan entitas Islam.

Rezim penguasa yang tiran biasanya dengan sangat mudah untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya dengan melemparkan isu terorisme, isu separatisme, isu Islam garis keras dan sekian banyak ikon negatif lainnya yang disandingkan dengan Islam. Dalam tradisi masyarakat Islam, kita selalu menyaksikan fakta  bahwa saat ajaran Islam difahami dengan baik dan benar serta diamalkan secara integral dan komprehensif, maka secara otomatis hal tersebut akan merubah tatanan dan cara berfikir masyrakatnya kepada sebuah pemikiran maju dan konstruktif. Pemikiran ini dalam prakteknya akan melahirkan gerakan ‘politik’ dalam pengertiannya yang luas, yaitu semangat untuk membangun dan melakukan perubahan-perubahan besar menuju kehidupan yang lebih baik. Apakah spirit ini kemudian dengan mudah diklaim sebagai embrio akan lahirnya bayi yang bernama “Terorisme” ? dan apakah pemikiran ini termasuk yang harus diberangus dan tidak diperbolehkan untuk berkembang karena dapat mengancam stabilitas? Wallahu a’lam.

Ketika Cinta Harus Diekspresikan…!

Joko Sumaryono, Lc

Suatu hari, seorang sahabat Rasulullah saw yang bernama Khubaib ra berada dalam tawanan kaum musyrikin Qurays. Abu Sofyan yang saat itu masih musyrik sempat menguji Khubaib dengan sebuah pertanyaan. “Wahai Khubaib, apakah engkau bersedia jika nabimu yang bernama Muhammad dipenggal lehernya untuk menggantikan posisimu dan engkau akan kami bebaskan untuk kembali kepada keluargamu?”. Dengan lantang dan berani Khubaib menjawab: “Demi Allah, aku tidak rela jika  Rasulullah saw disakiti dan berada dalam posisiku seperti saat ini, sedang aku duduk bercengkerama bersama keluargaku”.

Sungguh menakjubkan! Ekspresi cinta yang diungkapkan Khubaib terhadap Rasulullah saw telah menggetarkan relung perasaan Abu Sofyan pada hari itu. Akhirnya dengan lirih Abu Sofyan berucap: “Sungguh aku belum pernah melihat diantara manusia seseorang mencintai sahabatnya seperti ekspresi cinta sahabat Muhammad kepada Muhammad”. Subhanallah.

Ekspresi cinta yang telah diungkapkan Khubaib bukanlah ekspresi cinta buta, atau taklid, atau karena fanatisme tak beralasan. Ekspresi yang lahir adalah buah dari ukhuwah yang dibangun dengan keimanan dan keikhlasan yang sesungguhnya. Cinta yang telah dibangun dengan pondasi yang sangat kokoh dalam sekolah kehidupan yang ia jalani bersama Rasulullah saw. Baginya, yang berharga dalam hidup ini bukanlah kemewahan, pangkat dan jabatan, bahkan nyawanya sekalipun. Tapi hal yang lebih berharga bagi dirinya adalah keselamatan Rasulullah saw dan eksistensi dakwah yang sedang ia perjuangkan.

Adakah yang lebih berharga bagi seseorang di dunia ini selain diri serta nyawanya? Dan apakah setiap orang mampu menyerahkan yang paling berharga yang ia miliki untuk orang lain? Jika pun ia terpaksa menyerahkannya, apakah ia mampu memberikannya dengan penuh keikhlasan dan kecintaan? Khubaib dan para sahabat-sahabat generasi awal telah menjawabnya dalam berbagai mauqif yang tercatat dalam sejarah emas perjalanan dakwah ini.

Empat belas abad pun telah berlalu begitu cepat sejak Rasulullah mendakwahkan risalah Islam ini. Jatuh bangun peradaban Islam juga telah kita saksikan bersama dalam pentas sejarah yang terus bergulir. Namun ada satu pertanyaan yang terus mengusik alam bawah sadar kita, mengapa kwalitas keimanan dan militansi kita pada hari ini sangat jauh dibandingkan  generasi awal pioneer-pioneer dakwah ini? Bukankah jumlah kita pada hari ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah sahabat terdahulu? Bukankah fasilitas yang kita miliki pada hari ini jauh lebih baik dari apa yang dimiliki Rasulullah dan para sahabat? Tapi mengapa tetap saja kita tidak mampu untuk memimpin peradaban pada hari?

Sebuah ungkapan hikmah mengatakan al muhibbu liman yuhibbu muthi’un (orang yang mencintai seseorang akan selalu taat dan patuh kepada orang yang dicintainya). Bahkan Rasulullah juga dengan tegas mengatakan bahwa tidak sempurna iman seorang hamba sampai ia mampu mencintai Allah dan Rasul melebihi dari cintanya kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang telah membuktikan hal itu. Inilah yang barangkali membedakan kita dengan generasi awal dakwah ini. Artinya, kwalitas cinta lah yang telah membedakan kita dengan mereka. Kwalitas tersebut juga pada akhirnya yang membedakan ekspresi cinta yang diungkapkan para sahabat dengan ekspresi cinta kita pada hari ini.

Oleh karenanya, adalah sebuah keniscayaan ketika Allah swt mengabadikan pujian-Nya kepada generasi ini di dalam al-Qur’an. Bahkan Rasulullah pun memberikan bintang penghargaan kepada mereka dengan gelar Khairul Qurun Qarni…(sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian setelahnya dan setelahnya…!). Cinta yang dibarengi pengorbanan di jalan jihad, suka dan duka, adalah memori indah mereka bersama sang uswah. Fenomena itulah yang telah merubah wajah dunia hingga hari ini.

Namun sayang, kenangan indah bersamanya telah ternodai pada hari ini. Mayoritas umatnya sudah banyak yang tidak kenal dengan kepribadiannya, sepak terjang perjuangannya, pengorbanan yang telah ia berikan bahkan sampai ketika ajal menjelang pun yang beliau ingat selalu adalah umatnya, bukan keluarganya. Pada hari ini, umatnya merasa cukup berbakti dengan mengadakan peringatan hari kelahirannya dengan berbagai acara sampai upacara kenegaraan. Atau sebagian besar mereka dengan bangga berfoto dimakam beliau, atau menghiasi rumah dan kendaraan mereka dengan ukiran namanya diatas batu pualam berhiaskan manikam dan sebagainya.

Mayoritas umatnya pada hari ini tak mampu mengekspresikan cinta yang sesungguhnya. Semua cinta yang diungkapkan terlalu formalitas bahkan terkesan penuh basa basi. Mereka tidak lagi tahu hakikat cinta yang seharusnya diekspresikan dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Bahkan loyalitas pun bisa mengalahkan loyalitas penuh kepadanya karena alasan kedudukan atau profesi. Bahkan ketika keagungan namanya dicabik-cabik oleh pers Barat, karikaturnya di tampilkan dengan tendensi hinaan, risalahnya ditafsirkan secara rasialis oleh orang-orang yang hatinya berpenyakit masih banyak diantara umatnya masih bersikap acuh seolah-olah semua itu adalah hal biasa dan tidak merasa tersinggung.

Kemenangan dan kejayaan peradaban kaum muslimin sepanjang sejarah selalu berbanding lurus dengan komitmen iman dan amal yang berkesinambungan.  Komitmen iman dan amal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman dan pengenalan yang komprehensif sejarah hidup dan perjuangan dakwah Rasulullah saw. Pembelajaran sejarah perlu ditingkatkan lebih dari hanya sekedar menghafal urutan peristiwa saja. Akan tetapi, lebih dari itu adalah pembelajaran nilai dan pelajaran sejarah dari setiap peristiwa tersebut untuk dianalisa dan dikembangkan menjadi sebuah tesis dan kesimpulan.

Disamping itu, membangun kesadaran kolektif untuk menghidupkan sunnah dalam pengertian yang lebih persuasif, yang lebih luas dan tidak skeptis juga merupakan salah satu unsur terpenting wujud ekspresi cinta yang sesungguhnya. Kesadaran tersebut harus dibentuk dan dikembangkan dari komponen terkecil tatanan masyarakat sosial, dalam hal ini adalah peran institusi keluarga atau rumah tangga. Orientasi yang dibangun dalam rumah tangga adalah menciptakan generasi yang faham dan mengerti tentang hakikat cinta dan perjuangan Rasulullah saw.

Institusi sekolah pun, tak kalah penting memegang peranan untuk mendidik dan membangun makna cinta ini. Sistem pendidikan yang selama ini telah teruji perlu ditinjau kembali kelayakannya. Karena kenyataanya, out put yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi yang mumpuni secara akademik dan moral. Sangat perlu dikembangkan sebuah metode baru membangun karakter generasi muda saat ini dengan karakter iman dan semangat jihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah kepada generasi muda para sahabat dizamannya.

Ketika cinta harus diekspresikan, ketika loyalitas harus memilih, dan ketika         kesadaran bangkit untuk berbenah diri, maka tidak ada kata lain selain menjadikan Rasulullah saw sebagai contoh tauladan terbaik, mengikuti sunnahnya, berkorban untuk membelanya serta yang terpenting lagi adalah meneruskan estafeta dakwahnya dalam suka maupun duka. Wallahu a’lam

Haji Dan Spirit al-Tajarrud

Joko Sumaryono, Lc

Memaksimalkan al-Tajarrud

Secara substansi, seluruh ibadah mahdah berorientasi kepada totalitas penghambaan kepada Allah Swt. Totalitas tersebut sangat erat kaitannya dengan niat yang tersirat didalam hati dan yang terucap oleh lisan. Oleh karenanya, niat sangat menentukan nilai aktifitas seorang muslim pada semua dimensi kehidupannya. Kwalitas ibadahpun pada akhirnya berbanding lurus dengan ketulusan dan kebersihan niat. Semakin niatnya hanya menempati ruang yang sangat pribadi antara dirinyay dan Tuhannya, maka secara ril terbukti saat aktualisasi ketundukan dan penyerahan diri yang tanpa batas.

Ibadah yang didasari keikhlasan akan terlepas dari sekat-sekat kepentingan, perasaan ingin dipuji, keinginan untuk menggapai popularitas dan lebih naïf lagi jika ibadah tersebut hanya dijadikan simbol formalitas yang menandakan perubahan strata sosial dirinya dalam pandangan manusia dan bukan mengharapkan pahala dari Allah. Terkait hal tersebut, ibadah haji termasuk ibadah yang sangat rentan untuk dijadikan sebagai lambang kebesaran nama, tingginya strata kemapanan hidup bahkan pongahnya kekuasaan. Hal itu dikarenakan ibadah ini adalah ibadah yang menuntut pelakunya untuk mempersiapkan fisik, mental, keimanan dan keyakinan dan tak luput adalah kemampuan finansial yang semakin tahun semakin meningkat tinggi seiring meningkatnya minat dan permintaan umat islam seluruh dunia untuk menunaikannya.

Jika seorang muslim benar-benar memahami fiqih haji dan maqasid serta hikmah yang terkandung didalamnya, maka ia akan menemukan kesimpulan mendasar bahwa ritual haji yang ia lakukan sejak ihram di miqat hingga thawaf wada’ pada hakikatnya adalah visualisasi perjalanan manusia kembali kepada zat yang maha kuasa, yaitu Allah swt. Ingatlah bahwa ibadah haji bukan perjalanan wisata dan pelepas kewajiban saja. Haji adalah perjalanan menuju Allah yang dengannya jiwa tersucikan, spritualitas diri membumbung tinggi, keterikatan hati dengan ketaatan dan ketundukan semakin membuat siapapun yang melakukannya dengan sempurna maka ia akan kembali menjelma seperti seorang bayi tanpa dosa.

Jika kita telisik lebih dalam, keseluruhan manasik haji mengajarkan manusia untuk melepaskan seluruh identitas, jabatan, kedudukan, kekuasaan, kesombongan, sifat ego, untuk melebur menjadi seorang manusia yang benar-benar lemah dan tanpa kuasa dihadapan Allah swt. Haji adalah benar-benar melepaskan diri dari kehidupan dunia, keluar dari seluruh ikatan-ikatan dan label duniawi, meleburkan semua keinginan-keinginan nafsu dan bisikan hati untuk siap menerima kehendak Allah dan tuntutan-Nya secara totalitas.

Setiap individu muslim harus benar-benar mengetahui dan menghayati makna dan tujuan ibadah haji secara integral dan komperehensif. Pelajaran dan hikmah haji tidak akan mampu diketahui dan dirasakan jika makna dan tujuan ibadah tersebut hanya diketahui secara parsial dan terpisah. Beberapa hikmah berikut diharapkan dapat mengingatkan kembali pelajaran dan hikmah dari setiap manasik yang dilakukan:

Ihram

Kain putih yang hanya terdiri dari beberapa potong sebagai penutup tubuh tanpa dijahit adalah simbol persatuan dan kesatuan seluruh jenis umat manusia dengan segala perbedaannya. Itulah simbol persamaan dan kesetaraan. Tidak ada perbedaan strata antara seorang jenderal dengan seorang kopral, antara seorang direktur dengan karyawan biasa, sudah tidak terlihat lagi perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, baik presiden dan rakyat biasa pun semuanya dihadapan Allah adalah sama.       

Disamping itu, ihram juga simbol totalitas penyerahan diri kepada Allah swt. Dua potong kain ihram tanpa dijahit itu adalah perumpamaan bahwa tidak ada yang mampu dibanggakan oleh manusia jika dihadapkan dengan kekuasaan dan kekayaan milik Allah swt. Oleh karena itu, seharusnya manusia benar-benar melepaskan seluruh pakaian kesombongannya, keangkuhannya, nafsu dan syahwat yang membinasakan untuk tunduk sujud melantunkan talbiyah yang merupakan lafaz kesaksian seorang hamba untuk selalu taat memenuhi suruhan-Nya dan melepaskan semua ikatan-ikatan duniawi guna mampu melaksanakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Thawaf

Mengelilingi ka’bah dengan thawaf sebanyak tujuh kali adalah terjemahan dari ketundukan manusia akan kebesaran Allah Swt. Ka’bah adalah baitullah dan tempat pertama yang dijadikan manusia sebagai tempat ibadah menyembah Allah Swt. Ka’bah adalah lambang kesucian dan kiblat seluruh umat islam sedunia saat melaksanakan shalat.

Jika kita telaah hikmah thawaf ini melalui teori dan hukum alam yang telah diteliti dan disimpulkan oleh para ilmuwan, maka kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa dalam hukum alam materi, sesuatu yang lebih kecil akan selalu mengitari sesuatu yang lebih besar. Bulan berputar mengelilingi bola bumi, bumi berputar mengitari matahari, kemudian matahari berputar mengeliling galaxy, dan seterusnya galaxy yang lebih kecil berputar mengelilingi galaxy yang lebih besar.

Thawaf juga dapat diterjemahkan sebagai simbol ketergantungan seorang manusia kepada Allah dengan seluruh perasaan, perkataan dan perbuatannya. Saat thawaf, seorang muslim melakukannya dengan ketundukan hati, kesadaran akal dan dilakukan secara tanpa paksaan oleh seluruh anggota tubuhnya.

Putaran yang mengelilingi satu titik, yaitu ka’bah adalah perumpamaan bahwa seluruh orientasi kehidupan manusia pada hakikatnya adalah perjalanan menuju Allah Swt. Sebagai makhluk yang lemah, manusia menyadari bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Sa’i antara bukit Shafa dan Marwa

Saat menunaikan sa’i dengan berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa seakan-akan revisualisasi kisah perjalanan keluarga bapak para nabi, yaitu Ibrahim Alaihissalam dan keluarganya yang patut diteladani oleh generasi hari ini. Kisah dan profil perjuangan yang maha agung yang mengajarkan kepada kita arti sebuah ketundukan dan pengorbanan serta usaha dan kerja keras tanpa batas. Profil penyerahan diri yang dilakukan secara totalitas kepada perintah Allah tanpa harus memaksakannya sesuai dengan pemikiran dan logika manusia biasa yang sangat lemah dan terbatas.

Sa’i juga mengajarkan urgensi sebuah kerja, usaha, dan sikap optimis dalam mewujudkan impian dan cita-cita. Seorang muslim tidak layak bermalas-malasan, berpangku tangan dan berangan-angan saja. Prasyarat sebuah kejayaan selalu ditandai dengan totalitas usaha yang tak kenal lelah dan putus asa.

Wukuf di Arafah

Secara kesat mata, wukuf di Arafah adalah prosesi pelepasan seluruh ikatan keduniaan yang melekat pada diri seorang hamba dan mengosongkan hati dan seluruh perasaannya hanya untuk satu tujuan, yaitu berzikir dan menghayati kebesaran dan keagungan Allah Swt. Perjalanan ratusan bahkan ribuan mil dari seluruh penjuru dunia hingga titik puncak saat berada di Arafah adalah simbol pertemuan dan pengenalan Allah lebih dekat.

Kesusahan, kelelahan dan rintangan yang sangat beraneka ragam dalam perjalanan haji, kembali menyadarkan manusia akan hakikat sebuah ubudiyah dan pertemuan dengan Allah Swt. Manusia semakin akan sadar bahwa dirinya sebenarnya tidak memiliki apa-apa dan sangat hina dengan segala kotoran dan dosa-dosanya ditengah-tengah manusia lainnya saat menadahkan tangan berdoa, berzikir dan bersimpuh dengan tetes air mata penyesalan yang mendalam.

Wukuf di Arafah juga mengingatkan kembali kepada setiap individu muslim bahwa ikatan persaudaraan diantara mereka pada dasarnya diikat oleh kesamaan akidah dan ubudiyah. Ikatan persaudaraan ini sangat agung dimata Allah, karena Allah yang telah mempertemukan hati setiap mukmin dalam naungan cinta-Nya.

Pertemuan jutaan kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia di Padang Arafah adalah satu-satunya konferensi terbesar peradaban manusia di muka bumi. Seyogyanya, pertemuan besar tersebut dapat menghasilkan keputusan-keputusan besar untuk masa depan umat yang pernah memimpin dunia tersebut selama berabad-abad. Akan tetapi realitanya tidak demikian, umat Islam masih terseok-seok dengan persoalan-persoalan kebodohan, kemiskinan, dekadensi moral, kesyirikan baik disengaja atau tidak dan sekian banyak persoalan yang tak mampu mereka selesaikan sendiri.

Momen Arafah adalah momen sangat penting bagi umat ini untuk memperbarui janjinya dihadapan Allah Swt. Kesempatan untuk saling menyelesaikan pertikaian dan perselisihan diantara sesama saudara seakidah. Saatnya umat ini mulai berfikir dan bergerak untuk segera menggantikan hegemoni kapitalisme dan westernisasi yang menjajah. Itu semua akan mampu dilakukan, jika umat ini kembali meluruskan niat untuk segera menata kembali hubungannya secara vertikal kepada Allah Swt dan hubungan dengan sesama manusia secara horizontal.