Joko Sumaryono Abu Fida Rabbani

Beranda » Tazkirah

Category Archives: Tazkirah

Ketika Cinta Harus Diekspresikan…!

Joko Sumaryono, Lc

Suatu hari, seorang sahabat Rasulullah saw yang bernama Khubaib ra berada dalam tawanan kaum musyrikin Qurays. Abu Sofyan yang saat itu masih musyrik sempat menguji Khubaib dengan sebuah pertanyaan. “Wahai Khubaib, apakah engkau bersedia jika nabimu yang bernama Muhammad dipenggal lehernya untuk menggantikan posisimu dan engkau akan kami bebaskan untuk kembali kepada keluargamu?”. Dengan lantang dan berani Khubaib menjawab: “Demi Allah, aku tidak rela jika  Rasulullah saw disakiti dan berada dalam posisiku seperti saat ini, sedang aku duduk bercengkerama bersama keluargaku”.

Sungguh menakjubkan! Ekspresi cinta yang diungkapkan Khubaib terhadap Rasulullah saw telah menggetarkan relung perasaan Abu Sofyan pada hari itu. Akhirnya dengan lirih Abu Sofyan berucap: “Sungguh aku belum pernah melihat diantara manusia seseorang mencintai sahabatnya seperti ekspresi cinta sahabat Muhammad kepada Muhammad”. Subhanallah.

Ekspresi cinta yang telah diungkapkan Khubaib bukanlah ekspresi cinta buta, atau taklid, atau karena fanatisme tak beralasan. Ekspresi yang lahir adalah buah dari ukhuwah yang dibangun dengan keimanan dan keikhlasan yang sesungguhnya. Cinta yang telah dibangun dengan pondasi yang sangat kokoh dalam sekolah kehidupan yang ia jalani bersama Rasulullah saw. Baginya, yang berharga dalam hidup ini bukanlah kemewahan, pangkat dan jabatan, bahkan nyawanya sekalipun. Tapi hal yang lebih berharga bagi dirinya adalah keselamatan Rasulullah saw dan eksistensi dakwah yang sedang ia perjuangkan.

Adakah yang lebih berharga bagi seseorang di dunia ini selain diri serta nyawanya? Dan apakah setiap orang mampu menyerahkan yang paling berharga yang ia miliki untuk orang lain? Jika pun ia terpaksa menyerahkannya, apakah ia mampu memberikannya dengan penuh keikhlasan dan kecintaan? Khubaib dan para sahabat-sahabat generasi awal telah menjawabnya dalam berbagai mauqif yang tercatat dalam sejarah emas perjalanan dakwah ini.

Empat belas abad pun telah berlalu begitu cepat sejak Rasulullah mendakwahkan risalah Islam ini. Jatuh bangun peradaban Islam juga telah kita saksikan bersama dalam pentas sejarah yang terus bergulir. Namun ada satu pertanyaan yang terus mengusik alam bawah sadar kita, mengapa kwalitas keimanan dan militansi kita pada hari ini sangat jauh dibandingkan  generasi awal pioneer-pioneer dakwah ini? Bukankah jumlah kita pada hari ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah sahabat terdahulu? Bukankah fasilitas yang kita miliki pada hari ini jauh lebih baik dari apa yang dimiliki Rasulullah dan para sahabat? Tapi mengapa tetap saja kita tidak mampu untuk memimpin peradaban pada hari?

Sebuah ungkapan hikmah mengatakan al muhibbu liman yuhibbu muthi’un (orang yang mencintai seseorang akan selalu taat dan patuh kepada orang yang dicintainya). Bahkan Rasulullah juga dengan tegas mengatakan bahwa tidak sempurna iman seorang hamba sampai ia mampu mencintai Allah dan Rasul melebihi dari cintanya kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang telah membuktikan hal itu. Inilah yang barangkali membedakan kita dengan generasi awal dakwah ini. Artinya, kwalitas cinta lah yang telah membedakan kita dengan mereka. Kwalitas tersebut juga pada akhirnya yang membedakan ekspresi cinta yang diungkapkan para sahabat dengan ekspresi cinta kita pada hari ini.

Oleh karenanya, adalah sebuah keniscayaan ketika Allah swt mengabadikan pujian-Nya kepada generasi ini di dalam al-Qur’an. Bahkan Rasulullah pun memberikan bintang penghargaan kepada mereka dengan gelar Khairul Qurun Qarni…(sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian setelahnya dan setelahnya…!). Cinta yang dibarengi pengorbanan di jalan jihad, suka dan duka, adalah memori indah mereka bersama sang uswah. Fenomena itulah yang telah merubah wajah dunia hingga hari ini.

Namun sayang, kenangan indah bersamanya telah ternodai pada hari ini. Mayoritas umatnya sudah banyak yang tidak kenal dengan kepribadiannya, sepak terjang perjuangannya, pengorbanan yang telah ia berikan bahkan sampai ketika ajal menjelang pun yang beliau ingat selalu adalah umatnya, bukan keluarganya. Pada hari ini, umatnya merasa cukup berbakti dengan mengadakan peringatan hari kelahirannya dengan berbagai acara sampai upacara kenegaraan. Atau sebagian besar mereka dengan bangga berfoto dimakam beliau, atau menghiasi rumah dan kendaraan mereka dengan ukiran namanya diatas batu pualam berhiaskan manikam dan sebagainya.

Mayoritas umatnya pada hari ini tak mampu mengekspresikan cinta yang sesungguhnya. Semua cinta yang diungkapkan terlalu formalitas bahkan terkesan penuh basa basi. Mereka tidak lagi tahu hakikat cinta yang seharusnya diekspresikan dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Bahkan loyalitas pun bisa mengalahkan loyalitas penuh kepadanya karena alasan kedudukan atau profesi. Bahkan ketika keagungan namanya dicabik-cabik oleh pers Barat, karikaturnya di tampilkan dengan tendensi hinaan, risalahnya ditafsirkan secara rasialis oleh orang-orang yang hatinya berpenyakit masih banyak diantara umatnya masih bersikap acuh seolah-olah semua itu adalah hal biasa dan tidak merasa tersinggung.

Kemenangan dan kejayaan peradaban kaum muslimin sepanjang sejarah selalu berbanding lurus dengan komitmen iman dan amal yang berkesinambungan.  Komitmen iman dan amal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman dan pengenalan yang komprehensif sejarah hidup dan perjuangan dakwah Rasulullah saw. Pembelajaran sejarah perlu ditingkatkan lebih dari hanya sekedar menghafal urutan peristiwa saja. Akan tetapi, lebih dari itu adalah pembelajaran nilai dan pelajaran sejarah dari setiap peristiwa tersebut untuk dianalisa dan dikembangkan menjadi sebuah tesis dan kesimpulan.

Disamping itu, membangun kesadaran kolektif untuk menghidupkan sunnah dalam pengertian yang lebih persuasif, yang lebih luas dan tidak skeptis juga merupakan salah satu unsur terpenting wujud ekspresi cinta yang sesungguhnya. Kesadaran tersebut harus dibentuk dan dikembangkan dari komponen terkecil tatanan masyarakat sosial, dalam hal ini adalah peran institusi keluarga atau rumah tangga. Orientasi yang dibangun dalam rumah tangga adalah menciptakan generasi yang faham dan mengerti tentang hakikat cinta dan perjuangan Rasulullah saw.

Institusi sekolah pun, tak kalah penting memegang peranan untuk mendidik dan membangun makna cinta ini. Sistem pendidikan yang selama ini telah teruji perlu ditinjau kembali kelayakannya. Karena kenyataanya, out put yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi yang mumpuni secara akademik dan moral. Sangat perlu dikembangkan sebuah metode baru membangun karakter generasi muda saat ini dengan karakter iman dan semangat jihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah kepada generasi muda para sahabat dizamannya.

Ketika cinta harus diekspresikan, ketika loyalitas harus memilih, dan ketika         kesadaran bangkit untuk berbenah diri, maka tidak ada kata lain selain menjadikan Rasulullah saw sebagai contoh tauladan terbaik, mengikuti sunnahnya, berkorban untuk membelanya serta yang terpenting lagi adalah meneruskan estafeta dakwahnya dalam suka maupun duka. Wallahu a’lam

Haji Dan Spirit al-Tajarrud

Joko Sumaryono, Lc

Memaksimalkan al-Tajarrud

Secara substansi, seluruh ibadah mahdah berorientasi kepada totalitas penghambaan kepada Allah Swt. Totalitas tersebut sangat erat kaitannya dengan niat yang tersirat didalam hati dan yang terucap oleh lisan. Oleh karenanya, niat sangat menentukan nilai aktifitas seorang muslim pada semua dimensi kehidupannya. Kwalitas ibadahpun pada akhirnya berbanding lurus dengan ketulusan dan kebersihan niat. Semakin niatnya hanya menempati ruang yang sangat pribadi antara dirinyay dan Tuhannya, maka secara ril terbukti saat aktualisasi ketundukan dan penyerahan diri yang tanpa batas.

Ibadah yang didasari keikhlasan akan terlepas dari sekat-sekat kepentingan, perasaan ingin dipuji, keinginan untuk menggapai popularitas dan lebih naïf lagi jika ibadah tersebut hanya dijadikan simbol formalitas yang menandakan perubahan strata sosial dirinya dalam pandangan manusia dan bukan mengharapkan pahala dari Allah. Terkait hal tersebut, ibadah haji termasuk ibadah yang sangat rentan untuk dijadikan sebagai lambang kebesaran nama, tingginya strata kemapanan hidup bahkan pongahnya kekuasaan. Hal itu dikarenakan ibadah ini adalah ibadah yang menuntut pelakunya untuk mempersiapkan fisik, mental, keimanan dan keyakinan dan tak luput adalah kemampuan finansial yang semakin tahun semakin meningkat tinggi seiring meningkatnya minat dan permintaan umat islam seluruh dunia untuk menunaikannya.

Jika seorang muslim benar-benar memahami fiqih haji dan maqasid serta hikmah yang terkandung didalamnya, maka ia akan menemukan kesimpulan mendasar bahwa ritual haji yang ia lakukan sejak ihram di miqat hingga thawaf wada’ pada hakikatnya adalah visualisasi perjalanan manusia kembali kepada zat yang maha kuasa, yaitu Allah swt. Ingatlah bahwa ibadah haji bukan perjalanan wisata dan pelepas kewajiban saja. Haji adalah perjalanan menuju Allah yang dengannya jiwa tersucikan, spritualitas diri membumbung tinggi, keterikatan hati dengan ketaatan dan ketundukan semakin membuat siapapun yang melakukannya dengan sempurna maka ia akan kembali menjelma seperti seorang bayi tanpa dosa.

Jika kita telisik lebih dalam, keseluruhan manasik haji mengajarkan manusia untuk melepaskan seluruh identitas, jabatan, kedudukan, kekuasaan, kesombongan, sifat ego, untuk melebur menjadi seorang manusia yang benar-benar lemah dan tanpa kuasa dihadapan Allah swt. Haji adalah benar-benar melepaskan diri dari kehidupan dunia, keluar dari seluruh ikatan-ikatan dan label duniawi, meleburkan semua keinginan-keinginan nafsu dan bisikan hati untuk siap menerima kehendak Allah dan tuntutan-Nya secara totalitas.

Setiap individu muslim harus benar-benar mengetahui dan menghayati makna dan tujuan ibadah haji secara integral dan komperehensif. Pelajaran dan hikmah haji tidak akan mampu diketahui dan dirasakan jika makna dan tujuan ibadah tersebut hanya diketahui secara parsial dan terpisah. Beberapa hikmah berikut diharapkan dapat mengingatkan kembali pelajaran dan hikmah dari setiap manasik yang dilakukan:

Ihram

Kain putih yang hanya terdiri dari beberapa potong sebagai penutup tubuh tanpa dijahit adalah simbol persatuan dan kesatuan seluruh jenis umat manusia dengan segala perbedaannya. Itulah simbol persamaan dan kesetaraan. Tidak ada perbedaan strata antara seorang jenderal dengan seorang kopral, antara seorang direktur dengan karyawan biasa, sudah tidak terlihat lagi perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, baik presiden dan rakyat biasa pun semuanya dihadapan Allah adalah sama.       

Disamping itu, ihram juga simbol totalitas penyerahan diri kepada Allah swt. Dua potong kain ihram tanpa dijahit itu adalah perumpamaan bahwa tidak ada yang mampu dibanggakan oleh manusia jika dihadapkan dengan kekuasaan dan kekayaan milik Allah swt. Oleh karena itu, seharusnya manusia benar-benar melepaskan seluruh pakaian kesombongannya, keangkuhannya, nafsu dan syahwat yang membinasakan untuk tunduk sujud melantunkan talbiyah yang merupakan lafaz kesaksian seorang hamba untuk selalu taat memenuhi suruhan-Nya dan melepaskan semua ikatan-ikatan duniawi guna mampu melaksanakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Thawaf

Mengelilingi ka’bah dengan thawaf sebanyak tujuh kali adalah terjemahan dari ketundukan manusia akan kebesaran Allah Swt. Ka’bah adalah baitullah dan tempat pertama yang dijadikan manusia sebagai tempat ibadah menyembah Allah Swt. Ka’bah adalah lambang kesucian dan kiblat seluruh umat islam sedunia saat melaksanakan shalat.

Jika kita telaah hikmah thawaf ini melalui teori dan hukum alam yang telah diteliti dan disimpulkan oleh para ilmuwan, maka kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa dalam hukum alam materi, sesuatu yang lebih kecil akan selalu mengitari sesuatu yang lebih besar. Bulan berputar mengelilingi bola bumi, bumi berputar mengitari matahari, kemudian matahari berputar mengeliling galaxy, dan seterusnya galaxy yang lebih kecil berputar mengelilingi galaxy yang lebih besar.

Thawaf juga dapat diterjemahkan sebagai simbol ketergantungan seorang manusia kepada Allah dengan seluruh perasaan, perkataan dan perbuatannya. Saat thawaf, seorang muslim melakukannya dengan ketundukan hati, kesadaran akal dan dilakukan secara tanpa paksaan oleh seluruh anggota tubuhnya.

Putaran yang mengelilingi satu titik, yaitu ka’bah adalah perumpamaan bahwa seluruh orientasi kehidupan manusia pada hakikatnya adalah perjalanan menuju Allah Swt. Sebagai makhluk yang lemah, manusia menyadari bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Sa’i antara bukit Shafa dan Marwa

Saat menunaikan sa’i dengan berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa seakan-akan revisualisasi kisah perjalanan keluarga bapak para nabi, yaitu Ibrahim Alaihissalam dan keluarganya yang patut diteladani oleh generasi hari ini. Kisah dan profil perjuangan yang maha agung yang mengajarkan kepada kita arti sebuah ketundukan dan pengorbanan serta usaha dan kerja keras tanpa batas. Profil penyerahan diri yang dilakukan secara totalitas kepada perintah Allah tanpa harus memaksakannya sesuai dengan pemikiran dan logika manusia biasa yang sangat lemah dan terbatas.

Sa’i juga mengajarkan urgensi sebuah kerja, usaha, dan sikap optimis dalam mewujudkan impian dan cita-cita. Seorang muslim tidak layak bermalas-malasan, berpangku tangan dan berangan-angan saja. Prasyarat sebuah kejayaan selalu ditandai dengan totalitas usaha yang tak kenal lelah dan putus asa.

Wukuf di Arafah

Secara kesat mata, wukuf di Arafah adalah prosesi pelepasan seluruh ikatan keduniaan yang melekat pada diri seorang hamba dan mengosongkan hati dan seluruh perasaannya hanya untuk satu tujuan, yaitu berzikir dan menghayati kebesaran dan keagungan Allah Swt. Perjalanan ratusan bahkan ribuan mil dari seluruh penjuru dunia hingga titik puncak saat berada di Arafah adalah simbol pertemuan dan pengenalan Allah lebih dekat.

Kesusahan, kelelahan dan rintangan yang sangat beraneka ragam dalam perjalanan haji, kembali menyadarkan manusia akan hakikat sebuah ubudiyah dan pertemuan dengan Allah Swt. Manusia semakin akan sadar bahwa dirinya sebenarnya tidak memiliki apa-apa dan sangat hina dengan segala kotoran dan dosa-dosanya ditengah-tengah manusia lainnya saat menadahkan tangan berdoa, berzikir dan bersimpuh dengan tetes air mata penyesalan yang mendalam.

Wukuf di Arafah juga mengingatkan kembali kepada setiap individu muslim bahwa ikatan persaudaraan diantara mereka pada dasarnya diikat oleh kesamaan akidah dan ubudiyah. Ikatan persaudaraan ini sangat agung dimata Allah, karena Allah yang telah mempertemukan hati setiap mukmin dalam naungan cinta-Nya.

Pertemuan jutaan kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia di Padang Arafah adalah satu-satunya konferensi terbesar peradaban manusia di muka bumi. Seyogyanya, pertemuan besar tersebut dapat menghasilkan keputusan-keputusan besar untuk masa depan umat yang pernah memimpin dunia tersebut selama berabad-abad. Akan tetapi realitanya tidak demikian, umat Islam masih terseok-seok dengan persoalan-persoalan kebodohan, kemiskinan, dekadensi moral, kesyirikan baik disengaja atau tidak dan sekian banyak persoalan yang tak mampu mereka selesaikan sendiri.

Momen Arafah adalah momen sangat penting bagi umat ini untuk memperbarui janjinya dihadapan Allah Swt. Kesempatan untuk saling menyelesaikan pertikaian dan perselisihan diantara sesama saudara seakidah. Saatnya umat ini mulai berfikir dan bergerak untuk segera menggantikan hegemoni kapitalisme dan westernisasi yang menjajah. Itu semua akan mampu dilakukan, jika umat ini kembali meluruskan niat untuk segera menata kembali hubungannya secara vertikal kepada Allah Swt dan hubungan dengan sesama manusia secara horizontal.

Kemenangan Itu Bermula Dari Dua Gua Sempit

Joko Sumaryono, Lc.

Paradigma kemenangan sering kali kita definisikan secara sempit dan selalu kita ukur dengan tercapainya cita-cita dan tujuan akhir yang selalu dinanti dan diharapkan. Untuk mendefinisikan ‘menang’ secara subyektif, maka terminologinya akan selalu mengerucut bahwa kemenangan itu akan berbanding lurus dengan kemenangan kisi materil dalam hidup. Nilai kemenangan selalu disetarakan dengan sisi-sisi yang bersifat materil dan dapat dirasakan langsung. Seringkali kita merasa menang ketika kita mampu menyudutkan orang-orang yang tak sepaham dengan kita,  kita merasa menang ketika kita mampu membungkam musuh politik kita, kita merasa menang saat kita dapat semena-mena memuaskan syahwat kebinatangan kita diatas darah dan air mata manusia lainnya. Padahal kemenangan tidak selalu dapat diukur dengan standar demikian.

Persepsi ‘menang’ seperti ini sering dipahami dan diimani oleh manusia-manusia penyembah materi yang sepanjang hidupnya tidak punya tekad dan keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kebathilan dan bahkan cendrung memusuhi kebenaran yang terang benderang seperti terangnya sinar matahari. Bagi manusia jenis ini, saat obsesi-obsesi dunia mereka tidak tercapai dalam waktu yang telah direncanakan, dunia bagi merasa terasa sempit dan menyesakkan.

Semoga kita tidak terjebak dengan persepsi sempit akan makna ‘kemenangan’ sebagaimana yang diyakini oleh manusia-manusia yang dalam dirinya terjangkiti penyakit al-wahn (cinta dunia dan takut mati). Sebab, Kemenangan dalam perspektif keimanan tidak mutlak diukur dengan tercapainya sebuah tujuan dalam waktu yang diinginkan. Dalam sejarah kegemilangan Islam, kita menyaksikan bahwa terkadang kemenangan itu lahir setelah berabad-abad lamanya, setelah sekian generasi datang dan pergi silih berganti.

Hijrah menurut persepsi penulis adalah sebuah peristiwa besar dalam perjalanan sejarah Islam yang harus mampu kita cermati sebagai sebuah titik awal kebangkitan peradaban manusia akhir zaman. Kisi-kisi peristiwa hijrah yang sarat akan makna seharusnya menjadi pelajaran berharga yang harus dipahami oleh setiap individu muslim dalam memahami ruang lingkup makna ‘kemenangan’ yang sesungguhnya.

Sudahkan kita membaca secara detil peristiwa-peristiwa besar yang dialami oleh baginda Rasulullah SAW dan para sahabat RA dalam meniti langkah demi langkah proyek besar membangun peradaban manusia akhir zaman? Apa yang dialami oleh Rasulullah SAW selama 13 tahun di Mekah kiranya dapat kita jadikan sebagai bahan renungan terhadap persepsi ‘menang’. Karena dalam kenyataannya, begitu banyak peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah dan para sahabat selama di Mekah, yang jika dirasionalisasikan sebenarnya secara fisik dan materi Rasulullah dan para sahabat adalah mewakili kelompok yang dikalahkan, mereka ditekan dan disiksa sedemikian rupa, bahkan terusir demi menyelamatkan sebuah keyakinan yang pada akhirnya menjadi bahan bakar kemenangan yang sesungguhnya.

Suatu hari, ketika Rasulullah SAW menyampaikan dakwah di Thaif, beliau menghadapi cobaan yang luar biasa. Bukan sambutan hangat yang beliau dapat, tapi sebaliknya beliau dicaci dan dilempari batu sehingga beliau mengalami luka yang cukup parah. Tapi bagaimana sikap rasulullah saat itu? Ia hanya mengucapkan satu kata “Allahummahdi Qaumiy fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka orang-orang yang tidak mengerti). Padahal pada saat itu Jibril telah menawarkan, jika Rasulullah berdoa kepada Allah untuk membalikkan gunung-gungung yang ada dan dilemparkan kepada kaum musyrikin Thaif maka malaikat Jibril akan melakukan hal tersebut. Sikap baginda Rasulullah SAW ini sangat sulit untuk kita rasionalisasikan apalagi kalau kita ukur dengan standar ‘menang’ orang-orang yang menuhankan materi. Kesabaran Rasulullah itu ternyata pada kemudian harinya menjadi amunisi utama kemenangan demi kemenangan yang baru terbukti dan dirasakan beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi.

Banyak kisah sebenarnya yang dapat dijadikan pelajaran penting dalam memahami makna sukses dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW baik pada fase Mekah ataupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Tapi mengapa peristiwa hijrah begitu besar pengaruhnya dalam proses perjalanan dakwah Rasulullah saw? Benarkah kesimpulan yang mengatakan bahwa hijrah merupakan momen “Fatihatun Nashr” kemenangan-kemenangan Islam pada fase berikutnya? Atau apakah prasyarat keberhasilan itu harus selalu dimulai dengan hijrah?

Memahami Makna Hijrah

Secara etimologi, hijrah berarti meninggalkan, atau berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Lalu Makna yang kedua ini sering dipakai dalam mendefinisikan hijrah secara terminologi. Tidak sulit untuk memberikan definisi terhadap peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah. Karena secara sederhana hijrah adalah perpindahan Rasulullah SAW dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Namun yang terpenting dari peristiwa ini adalah bagaimana kita mampu memahami nilai-nilai hijrah itu sendiri untuk diterapkan pada tataran kehidupan kekinian.

Tak dapat diragukan lagi, peristiwa hijrah merupakan titik awal perubahan besar yang akan terjadi sesudahnya. Hijrah telah melepaskan kaum muslimin dari cengkraman jeruji kejahiliyaan dan tekanan kaum musyrikin Mekah. Disamping itu hijrah juga meruapakan batas pemisah antara dua masa yang sangat berarti dalam perjalanan dakwah dan penerapan syariat Islam, yang kita kenal dengan fase Makkiyah dan fase Madaniyah. Sehingga dikenallah istilah surat Makiyah dan surat Madaniyah dalam Al quran.

Banyak ujian dan cobaan yang telah dihadapi oleh Rasulullah dan para sahabat sebelum diizinkan untuk berhijrah. Sumayyah ibunda ‘Ammar bin Yasir syahidah pertama dalam Islam saat ia terpaksa untuk mempertahankan keyakinan dan keimanannya. Lalu mengapa Mengapa Allah baru mengizinkan Rasulullah dan para sahabatnya untuk hijrah setelah 13 tahun fase dakwah di Mekah? Walaupun sebelumnya, telah terjadi peristiwa hijrah pertama ke bumi Habsyah. Bukankah Allah swt bisa membuat skenario berbeda untuk sekedar memberikan kemudahan dan kemenangan kepada Rasulullah saw dan para sahabat?

Diantara salah satu hikmah yang utama dari proses dakwah fase Mekah ini adalah proses selektifitas kader dakwah yang betul-betul dianggap matang untuk melanjutkan estafeta dakwah menuju fase-fase berikutnya. Karena jika Allah membukakan kemenangan secara mudah kepada kaum muslimin, maka kemenangan itu tidak akan terasa manis karena didapat dengan begitu mudah dan ketahanannya pun cendrung tidak berrtahan lama. Maka ketika pertama kali dakwah dimulai, seiring itu pula terjadi proses latihan dan penyaringan yang sangat selektif dan alami. Dan ternyata, mereka inilah yang pada akhirnya berhasil menjadi busur sekaligus anak panah perkembangan Islam menuju puncak kejayaannya.

Setelah kita memahami makna hijrah yang sesungguhnya, kita akhirnya memahami bahwa kita terkadang perlu berpindah baik secara fisik atau pemikiran kepada sesuatu yang ideal dalam pandangan Allah SWT agar kita dapat mewujudkan kemenangan yang sesungguhnya. Jika setiap individu kita mampu berhijrah dalam pengertian yang luas, berarti kita telah memulai langkah untuk menuju ‘kemenangan’. Tentu hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat tidak dimaknai secara literlek yang harus kita terapkan saat ini. Kenapa? Karena rasululah saw sendiri sudah menyatakan “La Hijrata ba’dal fath walakin Jihadun waniyyah” (sudah tidak ada hijrah setelah terbuka pintu kemenangan (Fath Makkah), Akan tetapi masih tersisa jihad dan niat untuk berhijrah. Sebagian ulama menafsirkan niat disini adalah sebagai sebuah perpindahan dari kehidupan yang jauh dari nilai-nilai ilahi menuju kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai rabbani.

Mengapa Hijrah Sebagai Pembuka Kemenangan?

Dari peristiwa hijrah kubro yang dilalui Nabi dan para sahabat, ada beberapa indikasi yang dijadikan faktor utama kemenangan dakwah. Faktor–faktor ini dapat kita lihat dari beberapa pelajaran dan ibrah yang kita ambil dari rentetan peristiwa hijrah itu sendiri. Diantaranya adalah:

1. Sabar Dalam Menghadapi Makar Musuh

Begitu banyak rekaman sejarah dalam Al-Quran maupun Sunnah yang menggambarkan permusuhan abadi kaum kufar dan musyrikin terhadap Islam dan kaum muslimin. Permusuhan ini biasanya disertai makar yang senantiasa mencoba untuk menggoyahkan keimanan dan menguburkan keyakinan dengan menggunakan segala daya dan upaya. Banyak cara yang mereka gunakan, baik dengan menawarkan harta dan kesenangan ataupun dengan siksaan demi siksaan. Nah, disinilah sabar merupakan tameng awal dan jawaban dari semua itu. Sebab, sabar dalam perspektif Islam tidak kenal batas. Sabar dapat diterapkan dalam ketaatan, menghindari maksiat, dan bersabar juga dipraktekan dalam menghadapi musibah dan cobaan.

Rasulullah SAW adalah orang pertama yang menerapkan sabar, bahkan ketika maut hampir menghampirinya ketika berdakwah dijalan Allah, ia hanya berkata “Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun”. Subhanallah! Rasululah tidak tergesa-gesa mengejar kemenangan, dan sikap ini juga yang terpatri dalam jiwa setiap sahabat. Kesabaran inilah yang telah melahirkan semangat jihad dan semakin menambah keyakinan mereka bahwa jalan yang mereka tempuh penuh dengan cahaya. Sikap sabar ini juga melahirkan pribadi yang istiqamah dan tidak mudah goyah. Maka sabar merupakan sebuah prasayarat mutlak dalam meniti tangga-tangga menuju kemenangan.

2. Al Akhzu bil Asbab 

Etos kerja dan semangat berkarya adalah ciri seorang muslim progresif dan konstruktif. Seluruh potensi harus terus dikerahkan dan disesuaikan dengan kondisi yang melingkupi. Rasulullah SAW adalah contoh tauladan sebagai seorang sosok yang tak mudah menyerah dengan hanya mengandalkan satu cara. Ia selalu berfikir dan berbuat dengan amal yang sangat variatif agar dakwah mudah diterima dan cepat berkembang. Segala kreatifitas dan inovasi dakwah beliau kerahkan. Gagal dengan satu cara beliau memanfaatkan metode lain. Sehingga beliau tidak pernah putus asa dan sikap ini adalah bagian dari konsep membangun motivasi yang sangat jitu.

Ketika dakwah beliau di kota Mekah dan perkampungan sekitarnya tidak begitu mendapatkan sambutan yang positif. Beliau melihat ada potensi lain yang bisa dilakukan, yaitu mendakwahi para Qabilah yang datang dari luar kota Mekah pada musim-musim haji. Pertemuan ini dilakukan Rasulullah SAW diluar kota Mekah bersama kaum Auz dan Khazraj tepatnya didaerah yang bernama al ‘aqabah dan dalam catatan sejarah dikenal dengan bai’atul aqabah al ula. Perwakilan kaum Auz dan Khazraj terdiri dari 12 orang yang telah menyatakan keislaman mereka. Kreatifitas dakwah Rasulullah SAW tidak terhenti sampai disitu saja, lalu ia mengutus Mus’ab bin ‘Umair yang dikenal sebagai duta Islam pertama untuk kembali ke Yatsrib bersama kaum Auz dan Khazraj dan mengajarkan Islam secara lebih mendalam kepada mereka.

Peristiwa ini, pada akhirnya merupakan cikal bakal peristiwa hijrah beberapa tahun setelahnya. Dan setelah terjadi kesepakatan antara kaum muslimin Mekah dan Yatsrib ketika itu bahwa pusat dakwah akan dipindahkan dari Mekah ke Madinah, maka mulailah para sahabat melakukan hijrah sampai pada akhirnya diikuti oleh Rasulullah ketika telah turun wahyu yang mengizinkan beliau untuk hijrah. Momen ini sangat punya peran penting terhadap pertumbuhan dakwah dan akumulasi koalisi kekuatan Islam pada masa berikutnya.

3. Sistem Yang Rapi Prasyarat Kemenangan

Rentetan peristiwa hijrah, yang mungkin sebagian besar kita bahkan sudah sangat hafal, mengisyaratkan bahwa sebuah pekerjaan besar harus menggunakan sistem serta manajemen yang tertata rapi. Adanya pembagian tugas serta perencanaan yang sistematis dan matang, dan masing-masing individu memahami posisinya sehingga tidak terjadi benturan tugas yang akhirnya berakibat kepada proses sebuah rencana itu sendiri. Kita harus mampu memposisikan the right man on the right place.

Rasulullah adalah sosok yang brilian dalam menyusun strategi dan manajemen. Dengan kecerdasannya, ia dibantu Abu Bakar dan sahabat lain telah berhasil menyukseskan perjalanan hijrah dengan selamat dan tanpa pertumpahan darah atau pun benturan fisik.

Namun ironis, tatanan sistem yang kokoh dan manajemen yang rapi telah hilang dari dunia Islam dan bahkan sudah diadopsi oleh Barat. Bahkan lebih dari itu, umat Islam seolah mengaminkan saja bahwa Islam tidak pernah kenal dengan konsep sistem dan manajemen yang rapi.

Kemenangan selamanya tidak akan bisa diraih hanya dengan mengandalkan semangat bekerja saja, akan tetapi harus dibarengi dengan membangun sistem dan manajemen yang komprehensif. Disamping itu perlu adanya kejelian melihat situasi dan kondisi. Jangan sampai kita kehilangan daya kreatifitas karena alasan lingkungan dan kondisi yang ada disekitar kita. Kelemahan fatal diri kita adalah ketika kita tidak lagi mengenal diri kita. Jika hal itu terjadi, maka secanggih apapun sistem dan manajemen yang dibangun maka akan berakhir sia-sia.

4. Membangun Stabilitas Sosial

Pertama kali yang dilakukan Rasulullah saw di Madinah atau tepatnya di Qubah adalah membangun Mesjid. Dalam perspektif Islam, mesjid tidak sebatas sebagai tempat ibadah vertikal antara hamba dan Rabb-Nya. Akan tetapi Mesjid juga bisa berfungsi sebagai tempat menata kehidupan sosial masyarakat. Karena Islam dengan tegas mengakui bahwa manusia terdiri dari dua sisi yang harus selalu seimbang, yaitu sisi materi dan sisi spritual.

Setelah sarana fisik berupa masjid telah dibangun, selanjutnya Rasulullah SAW berfikir perlu adanya pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia untuk menjalankan fungsi dalam sebuah sistem kehidupan yang baru. Kemudian Rasulullah SAW segera mengambil inisiatif untuk mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab, persaudaraan ini akan mempercepat proses perubahan sosial ditengah komunitas masyarakat. Kaum Muhajirin yang lebih memiliki kemampuan dalam sistem perdagangan kembali menghidupkan pasar, dan bahkan dalam sejarah tercatat bahwa Rasulullah adalah orang pertama yang membangun pasar sebagai pusat ekonomi di Madinah. Kaum Anshar pun tetap dalam profesi mereka semula sebagai petani yang lebih spesifik mengurus pertanian.

Dalam proses selanjutnya, karena persaudaraan yang Rasul bina berdasarkan nilai keimanan dan keikhlasan, secara alami dan bertahap mulai tercipta Takaful Ijtima’iy (solidaritas sosial) diantara komunitas sosial yang sangat plural di kota Madinah. Bahkan nilai ukhuwah itu tercatat indah dalam berbagai kisah haru biru tatkala Saad bin Rabi’ menawarkan harta dan salah satu istrinya untuk diberikan kepada Abdurrahman bin Auf. Namun akhirnya Abdurrahman bin Auf lebih memilih untuk memulai kehidupan barunya sebagai pedagang dan menolak secara halus tawaran saudaranya, sampai akhirnya ia berhasil menjadi saudagar yang berhasil.

Stabilitas sosial yang mapan akan menjadi faktor pendukung terbukanya pintu-pintu kemenangan dan kejayaan. Hal itu terbukti ketika kaum muslimin memenangkan perang Ahzab. Peperangan dengan jumlah tidak seimbang ini mampu dimenangkan oleh kaum muslimin, tidak terlepas dari faktor telah terciptanya sebuah tatanan  sosial yang kuat yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW. Para sahabat begitu memahami nilai ukhuwah dan amal jama’iy (kerja kolektif) yang akhirnya mampu memukul mundur koalisi pasukan musuh. Pada perang Khandaq ini juga Rasulullah memberikan kabar gembira kepada para sahabat yang beliau dapatkan dari Malaikat Jibril, bahwa setelah perang ini usai akan terjadi penaklukan besar-besaran di dataran Syam, Persia dan Yaman.

Kemenangan demi kemenangan yang telah diraih kaum muslimin pada akhirnya mengantarkan mereka berhasil menguasai dua pertiga luas bumi dibawah naungan Islam selama lebih kurang delapan abad. Kemenangan itu tidak terwujud dengan mudah, tapi butuh waktu yang panjang dan pengorbanan tak terkira. Rahasia kemenangan ini sangat sederhana; sebagaimana dalam firman Allah SWT “In tanshurullah yanshurukum wayutsabbit aqdamakum”.

Kemenangan Islam jika boleh penulis simpulkan, bermula dari ‘dua gua sempit’, yaitu gua Hira saat pertama kali Rasulullah SAW menerima wahyu dan titah sebagai seorang Rasul penyampai risalah, dan gua Tsur saat Rasulullah SAW sempat bersembunyi bersama Abu Bakar RA sebelum melanjutkan perjalanan hijrah mereka dari Mekah ke Madinah. Secara fisik, dua gua ini begitu sempit dan gelap, namun cikal bakal kemenangan dan tamadun yang dibidani oleh peradaban Islam justru dimulai dari dua gua yang sempit ini.

Dunia Islam kini tak secerah masa lalu saat keadilan dan kedamaian Islam dapat dirasakan oleh manusia-manusia di berbagai penjuru dunia. Pada hari ini, darah kaum muslimin begitu murah dihadapan musuh-musuhnya dan bahkan oleh saudara-saudaranya sendiri. Umat Islam pada hari ini persis seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya bahwa mereka tak ubahnya seperti hidangan makanan yang diperebutkan di meja makan karena kelemahan dan keterpurukan dalam semua dimensi kehidupan menjadi ciri khas mereka pada hari ini.

Sudah seharusnya kita perlu merapihkan kembali hubungan kita dengan Allah SWT. Sudahkah kita menolong agama Allah? Sehingga kita layak untuk ditolong oleh-Nya?. Kita selalu bercita-cita meraih kemenangan, tapi sayang kita tak pernah mengerti persepsi menang yang sesungguhnya. Kita masih ragu untuk mempertahankan prinsip dan keyakinan yang benar ditengah hegemoni kebathilan yang dan keraguan yang menggoyahkan iman. Kita jangan pernah takut untuk dikucilkan manusia dan terpinggirkan, karena itu hanya sesaat dan yakinlah bahwa Allah SWT tidak pernah lalai terhadap hamba-hamba-Nya. Kita sangat yakin  Allah SWT tidak pernah ingkar janji…walaupun kita tahu bahwa kemenangan itu bisa jadi akan lahir berabad-abad yang akan datang dan setelah silih bergantinya generasi, namun paling tidak kita telah ‘menang’ dalam mempertahankan prinsip dan keyakinan.

Wallahu A’lam.

Sahabat…Aku Mencintaimu Karena Allah!

Sahabat…Aku Mencintaimu Karena Allah!

Joko Sumaryono, Lc

Suatu ketika seseorang berada disamping Rasulullah saw, lalu seorang sahabat lewat dihadapannya, lalu orang yang berada disamping Rasulullah itu tiba-tiba berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai dia”, “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” tanya Nabi. “Belum” jawab orang itu. “Nah…sekarang beritahukanlah kepadanya” timpal Nabi. Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya: “sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah…” dengan serta merta sahabat itu menjawab: “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya…”. (HR. Abu Dawud).

Subhanallah…! sungguh indah ukhuwah yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya. Ungkapan cinta secara verbal dalam kehidupan nyata itu lahir dari pribadi-pribadi yang ikhlas. Barangkali dalam pandangan kita hari ini, ungkapan-ungkapan seperti itu terkesan klise atau bahkan terlalu formalistik. Tapi tidak buat generasi terbaik saat itu. Sikap lahiriah yang mereka tampilkan adalah cermin dari kepribadian tulus yang tidak dipoles basa-basi.

Kita tentu masih ingat dengan kisah mengharu biru antara Sa’id bin Rabi’ al Anshary dengan Abdurrahman bin ‘Auf ketika mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah setelah peristiwa hijrah. Sa’ad dengan segenap ketulusan memberikan kepada sahabat yang dicintainya hanya karena Allah itu sebidang kebun dan seorang istri yang tentu sangat dibutuhkan oleh Abdurahman bin ‘Auf saat itu untuk memulai kehidupan barunya di Madinah. Namun sikap Abdurrahman saat itu tak kalah bijaksana. Dia menolak tawaran tersebut secara halus, dan hanya minta ditunjukkan padanya sebuah pasar agar ia mulai bisa mandiri memulai hidup barunya.

Sangat kontras barangkali dengan kondisi kita hari ini. Kita terkadang alpa memberikan hak orang lain yang seharusnya kita berikan, namun diwaktu yang sama kita sering menuntut hak kita lebih banyak. Padahal kehidupan yang sakinah selalu dibangun atas dasar keseimbangan; saling memberi dan saling menerima. Sebab sikap takâful tidak bisa lahir begitu saja tanpa melalui proses ta’âruf (saling mengenal), tafâhum (saling memahami), dan ta’âwun (saling bekerjasama).

Rasanya mustahil kita akan bisa mencintai sahabat atau saudara seakidah jika kita tidak pernah mengenalnya. Lalu apakah mengenal disini adalah syarat mutlak untuk mencintai saudara seiman? Jawabannya adalah tidak. Tapi standar yang jadi ukuran kita adalah, cinta kita hanya karena Allah. Artinya, kita dituntut mencintai sahabat dan saudara kita dalam ketaatan kepada Allah. Tatkala kita melihat seseorang yang memiliki kesalehan dan ketaatan maka kita mencintainya karena ketaatannya, sebaliknya jika kita lihat seseorang telah menyimpang, makak kita dianjurkan hanya membenci perbuatannya bukan dirinya. Sekaligus dalam waktu yang sama kita harus selalu mendekatinya untuk diajak kembali kepada Allah. Inilah makna dari kisah dalam penggalan hadits diatas. Bukankah antara kedua sahabat Rasulullah itu juga belum saling kenal? Tapi masing-masing merasakan bahwa ada satu titik temu yang mempertautkan hati mereka, yaitu keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ingat…hati dan jiwa seperti inilah yang telah dijamin oleh Allah untuk dipersatukan dengan rahmat-Nya. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyatukan hati dan jiwa, bahkan dengan mengumpulkan segala potensi yang dimiliki langit dan bumi sekalipun, niscaya hanya hati dan jiwa yang disatukan oleh Allah lah yang terus bisa langgeng dan bertahan.

Selama ini kita sering salah persepsi tentang arti kata ‘kenal’. Kita sudah merasa cukup dikatakan ‘gaul’ dan banyak teman ketika kita dikenal oleh orang banyak, atau kita selalu merasa cukup mengenal seseorang dari nama, asal daerah dan beberapa kesukaannya. Padahal proses perkenalan itu sebenarnya sepanjang masa. Setiap kita dituntut untuk selalu memperdalam ta’âruf sesama kita dalam setiap kesempatan, apalagi jika frekuensi pertemuan kita dengan saudara kita tidak terlalu sering. Semakin dalam perkenalan tersebut akan melahirkan sikap tafâhum dan bisa terhidar dari perasaan negatif atau sangkaan yang tidak mendasar.

Saling memahami pada dasarnya adalah, bahasa lain dari sikap bisa menerima orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Seringkali kita ingin dipahami, tapi sangat sulit bagi kita untuk sekedar berempati memahami orang lain. Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu sebabnya barangkali adalah sifat ego yang belum mampu kita tundukkan. Disamping itu, kita tidak siap untuk berbeda dan terbiasa mengukur orang lain dengan diri kita. Akibatnya akan sulit terwujud sikap saling memahami, padahal Allah telah menciptakan perbedaan itu secara alami.

Kehidupan para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah teladan utama dalam membina kesepahaman dalam kemajemukan. Masing-masing mereka mewakili karakter yang sangat berbeda. Tapi perbedaan itu bukan perbedaan tanâqud (kontradiktif), tapi lebih bersifat tanawu’ (variatif). Antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab jelas menggambarkan dua watak yang sangat berbeda, tapi mereka telah memberikan contoh terbaik dalam menerapkan sikap tafâhum. Sebagai bukti, estafet dakwah yang telah digariskan oleh Rasulullah saw mampu mereka emban dan teruskan untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Kekokohan sebuah ukhuwah adalah prasyarat utama meraih prestasi dan membangun peradaban besar. Obsesi sebesar apapun akan mudah dicapai jika dikerjakan secara kolektif (amal jama’i). Sebaliknya jika nilai-nilai ini sudah melemah, maka kehancuran sudah dihadapan mata. Sebagai umat yang pernah memimpin peradaban dunia selama lebih dari delapan abad walaupun akhirnya runtuh, ternyata ditemukan dari beberapa catatan sejarah bahwa salah satu faktor utama keruntuhan tersebut disebabkan oleh melemahnya nilai-niali ukhuwah dan persaudaraan. Silang pendapat tak jarang berakhir dengan perang saudara. Saling percaya mulai memudar sehingga mudah disusupi oleh musuh-musuh Islam yang memang sudah sejak lama mencari kesempatan untuk turut andil menumbangkan kedigdayaan Islam ketika itu.

Jika sikap tafâhum telah terbina dengan baik, akan mudah menjalin kerjasama dan saling membantu. Pekerjaan berat akan terasa ringan jika dikerjakan bersama. Berbagai kekurangan akan mudah ditutupi. Disamping itu rasa solidaritas akan mudah diwujudkan. Itulah filosofi ta’awun yang sudah mulai luntur dalam kultur muslim hari ini. Padahal Rasulullah telah menganalogikan hubungan antar sesama muslim dalam berbagai dimensi kehidupan ini ibarat satu tubuh yang tak mungkin terpisahkan. Jika salah satu anggota tubuh sakit atau terluka, maka anggota tubuh lain turut merasakannya. Bahkan Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadits shahîh bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak mampu mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Seluruh konsep Islam tentang ukhuwah bukan saja sekedar teori, tapi telah dibuktikan oleh sejarah. Para pelaku sejarah itu adalah orang-orang pilihan yang telah ter-sibghah (tersentuh) oleh tarbiyah Islamiyah dari generasi ke generasi.

Dr. Abdullâh Darrâz dalam bukunya zâdul muslim lil dîn wal hayât mengkalsifikasi manusia dalam interaksi sehari-hari kepada tiga kelompok, diantaranya :

Pertama, Orang yang selalu ingin mengambil haknya dari orang lain atau bahkan boleh jadi tidak berkaitan dengan haknya. Dalam waktu yang sama dia tidak mau memberikan kewajibannya atau hak orang lain yang wajib ia tunaikan. Sifat ini termasuk dalam kategori dzhâlim. Orang seperti ini tidak memiliki kepedulian sosial dan kepekaan serta cendrung sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa kehidupan ini dibangun atas dasar takâful satu sama lain. Semoga kita tidak termasuk kedalam golongan ini.

Kedua, Orang yang selalu berfikir ‘fifty-fifty’. Atau dalam bahasa lain adalah mu’amalah bil mukâfi’. Artinya, saya akan memberi jika ia memberi. Atau saya akan memberi dan membalas perbuatannya sesuai dengan ukuran yang ia berikan kepada saya. Mereka menjadikan pola interaksi sosial seperti layaknya jual beli. Karena hanya konsep jual beli yang memakai filosofi mubâdalah. Padahal interaksi sosial dan ukhuwah bukanlah jual beli, lebih dari itu ukhuwah adalah ‘ruh’ kehidupan ini. Saling memberi dan saling menerima sering disalah pahami oleh sebagian kita hanya; jika dia memberi maka saya akan membalas, tapi jika dia tidak memberi maka tunggu dulu.

Karakter hedonis dan egois sudah semakin menggerogoti manusia-manusia modern. Nilai-nilai persaudaraan bahkan diukur dengan kepentingan dan materi. Mereka yang berkiblat dengan paham ini akan selalu berprinsip; tidak ada teman setia dan tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Dibanding kelompok pertama, maka golongan kedua ini masih mending walaupun belum ideal. Minimal dia tidak berbuat zalim dan merugikan orang lain. Dalam fikirannya selalu ada kalkulasi untung dan rugi.

Ketiga, Orang yang memiliki sifat Itsâr. Itsâr dalam makna sesungguhnya telah Allah sebutkan dalam al Quran: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al Hasyr : 9)

Sifat ini sudah jadi barang langka, bahkan orang yang masih mengamalkan sikap ini dicap sebagai orang yang tidak rasional. Sungguh Islam ini akan kembali bangkit jika setiap jiwa kita mampu memaknai dan mengaktualisasikan kembali nilai ini. Memang tidak semudah mengucapkannya. Untuk mengamalkannya diperlukan persiapan ruhy yang optimal. Mendapatkan kondisi ruhy seperti ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi ia butuh proses dan waktu.

Bagaiamana prosesnya? Perkuat hubungan dengan Allah dan interaksi sosial sesama makhluk, dan sadari bahwa kehidupan didunia adalah Dârul ‘amal, sedangkan kebahagiaan sempurna hanya ada di akhirat. Jika hal ini mampu kita lakukan, maka kita akan semakin bisa bermu’amalah dengan saudara kita dengan ‘ahsanul mu’amalah’. Hati kita akan selalu mudah peka dan lembut sebab kita sadar hanya Allah tujuan kita.

Sahabat….keindahan mentari pagi dengan cahayanya yang menembus disela-sela pepohonan dan dedaunan adalah kekuatan yang memberikan kehidupan bagi makhluk. Begitu juga dengan ukhuwah, ia ibarat sinar mentari yang membangkitkan kehidupan, mata air yang memberikan kesejukan dan pelepas dahaga, rembulan di malam hari yang menerangi perjalanan seorang musafir. Semua kita adalah musafir dalam hidup ini. Mahathah akhir kita adalah ridho Allah, dan saat ini kita masih dalam perjalanan menuju-Nya.

Sahabat…sungguh ingin kuucapkan betapa aku mencintaimu karena Allah. Kita tidak sedang bermain dengan kata-kata. Kita tidak sedang berbasa basi. Bukankah Allah telah menjanjikan buat kita diakhirat kelak melalui lisan Rasul-Nya? Bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari akhirat adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah? bertemu karena Allah dan berpisah karena-Nya juga? Masihkah kita ragu dengan janji-Nya?

Sahabat…bukalah pintu hatimu! Aku ingin berbagi cerita denganmu. Betapa disetiap sudut sajadah doaku teruntai sebait doa untukmu…semoga Allah selalu menyatukan hati dan jiwa kita untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya serta seluruh orang mukmin. Disetiap asa dan harapku semoga kita bisa mengemban amanah risalah dan dakwah ini dalam satu shaf yang rapi.

Sahabat…hari esok akan menjelang, dan perjalanan kita masih terlalu panjang. Genggamlah erat tanganku ini dan mari kita berjanji, bahwa kita akan meneruskan perjuangan ini…apapun yang terjadi! Tersenyumlah…karena Allah akan meridhoi kita sahabat…!