Joko Sumaryono Abu Fida Rabbani

Beranda » Refleksi

Category Archives: Refleksi

Pelajaran Dari Bumi Para Nabi

Pelajaran Dari Bumi Para Nabi

Jujur…tak ada kata pujian yang tepat untuk mengungkapkan perasaan ini. Antara percaya dan tidak, ditanah ku pijak ini aku begitu banyak menyaksikan orang-orang luar biasa. Aku menyaksikan begitu banyak potret kehidupan seperti negeri dongeng yang belum aku saksikan di belahan bumi lainnya.

Di tanah ini, nilai-nilai suci agama tidak terhenti pada indahnya retorika dakwah di mimbar-mimbar dan tabligh akbar. Di tanah ini orang-orang luar biasa tampak berpenampilan biasa dan kulihat mereka tak suka basa-basi. Di tanah ini aku lihat perempuan-perempuan pemberani mengalahkan laki-laki hebat yang pernah kulihat di negeriku sendiri.

Tanah ini telah mengajarkanku arti penting sebuah keyakinan kepada janji Allah, mentalqinkan kepadaku makna kejujuran pada nurani dan kebenaran, mengingatkan kepadaku betapa banyak kebohongan-kebohongan ditutupi oleh jubah kebesaran dan manisnya kata-kata hikmah yang menipu.

Cairo, 25 Januari 2015

Golongan Putih (golput);

@ Joko Sumaryono, Lc

Menurut saya, menjalani kehidupan pada hakikatnya adalah menjalani pilihan-pilihan. Dan mustahil ada kata ‘abstain’ agar kehidupan bisa terus berlangsung secara dinamis dan berkesinambungan. Dulu, ketika kita masih kecil, setiap kali mau makan ibu kita selalu menawarkan misalnya: “kamu mau makan ikan goreng atau telur rebus?” Apa yang akan terjadi jika jawaban kita misalnya: ”saya tidak mau makan apapun! ikan tidak, telur juga tidak”. Karena bagi kita ikan banyak tulangnya sehingga kita takut, atau bagi kita telur rebus itu baunya amis dan sebagainya. Paling tidak kita pasti memlih pilihan lain selain ikan dan telur untuk dimakan agar perut kita tidak sakit karena lapar.

Dalam konteks kehidupan sosial yang makro dan plural, yang secara spesifik terkait dengan pengelolaan negara, kita semakin tidak bisa lari dari realitas bahwa memilih untuk tidak memilih sesuatu maka itu juga disebut sebagai sebuah pilihan. Dan disadari atau tidak, masing-masing pilihan tersebut akan membawa arah perubahan yang signifikan. Bisa jadi, perubahan kearah yang lebih baik atau sebaliknya. Bahkan kita tidak akan mampu keluar dari lingkaran itu dengan alasan apapun. Dan jika masing-masing pihak saling memaksa, maka yang akan terjadi adalah negara hanya akan dipimpin dari satu rezim kudeta ke rezim kudeta berikutnya, atau dari seorang diktator ke diktator lainnya.

Menurut saya, pilihan untuk golput adalah pilihan yang kurang bijaksana dan refleksi dari sikap arogansi, perfeksionis dan munafik. Kenapa demikian? Karena sikap arogan pada dasarnya adalah perwujudan dari ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi dengan realita. Orang yang arogan biasanya cendrung memaksakan dirinya berangkat dari idealita, dan selalu mencaci maki realita disekelilingnya. Padahal alangkah baiknya jika idealita itu terus berjalan dan dijalankan tanpa harus bertabrakan atau menabrakkan diri dengan realita.

Sedangkan sifat perfeksionis, adalah sikap ingin mengukur segala sesuatunya dengan ukuran atau standar dirinya. Kita bisa melihat karakter orang yang perfeksionis misalnya; sering menganggap orang lain tidak benar dalam melakukan sesuatu menurut standarnya, mudah menyalahkan orang lain, tidak pernah bisa menentukan pilihan dengan tepat, mudah ragu atas pilihan-pilihan yang telah diambilnya dan biasanya cendrung untuk berpindah kepada pilihan yang lain sehingga akhirnya bingung untuk memutuskan apa, dan terakhir adalah sering merasa tidak puas dengan apa yang telah dilakukan oleh orang lain atau dirinya sendiri sehingga menyebabkan orang seperti ini tidak pernah merasakan bahagia dalam hidupnya.

Sedangkan sifat munafik adalah sifat yang penuh kepalsuan dengan cara menuntut orang lain untuk selalu benar, padahal dirinya sendiri banyak melakukan kesalahan seperti yang dituntutkan kepada orang lain. Dan karakternya pun sudah dijelaskan oleh Rasulullah saw seperti; selalu berbohong, mudah ingkar janji, dan selalu melanggar kepercayaan. Namun demikian, kita juga tidak bisa mengukur kemunafikan seseorang semata-mata dari sikap golput yang ia tonjolkan. Bisa jadi, hal itu merupakan kesimpulan dari proses pemikiran yang sudah dilakukannya.

Dalam bingkai kehidupan bernegara, pemilu setiap lma tahun sekali hanyalah salah satu sarana sarana untuk memilih kepemimpinan, yang dilembagakan untuk menggantikan kenabian guna melindungi agama dan mengatur dunia (Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthoniah, halaman 3). Terkait Diskursus mengenai wajibnya imamah karena pertimbangan akal atau karena hukum agama, Al Mawardi menegaskan posisinya bahwa institusi imamah (kepemimpinan) berasal dari perintah agama melalui konsensus (ijma).

Dasar pemikiran Al Mawardi sebagai salah seorang pemegang dokumen kunci dalam evolusi pemikiran politik Islam menyimpulkan, wajib taat kepada pihak yang berkuasa, tidak peduli apakah penguasa itu baik atau jahat. Mencermati pemikiran Al Mawardi diatas, kita akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa pengangkatan kepala negara wajib menurut hukum agama. Ikatan antara agama dan dunia atau antara agama dan kekuasaan politik menciptakan wibawa kedaulatan negara yang ditaati serta memiliki wibawa untuk melindungi kemaslahatan rakyat.

Al Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin jilid I halaman 31 menempatkan agama dan politik seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Agama adalah dasar, dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan suatu dasar tanpa penjaga akan hilang.

Menelusuri pemikiran Ghozali sebagai seorang tokoh sufi dan bukan sosok seorang politikus, kita akan memasuki sebuah paradigma yang menyimpulkan “bahwa ketertiban dunia merupakan keharusan untuk ketertiban agama. Maka agama dan kekuasaan politik merupakan hubungan simbiotik yang harus selalu berjalan seiring dan tidak harus berbenturan, baik dari sisi validitas dalil yang mendukungnya, atau dari sisi praktis ketika diterjemahkan dalam konteks perpolitikan yang bersih dan beretika.

Dalam konteks kemesiran, potensi golput bisa jadi cukup besar. Terbukti pada pemilu tahun 2004 yang lalu, hanya setengah dari sekitar empat ribu Masisir yang mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Dari yang terdaftar pun nyatanya tidak semua yang pergi memilih. Bahkan dari yang pergi memilih, juga tidak sedikit yang abstain.

Menurut saya, memilih atau tidak memilih adalah hak privacy seseorang yang bebas ia gunakan. Tapi mari kita coba pahami kembali dengan baik normative value yang diajarkan oleh alquran dan sunnah yang dijabarkan dan dikembangkan oleh para ulama sepanjang perjalanan sejarah. Jangan sampai kita terjebak dengan sudut pandang parsial yang selalu mensejajarkan aktifitas politik dengan aktifitas kejahatan yang terselubung. Atau pandangan yang melihat politisi tidak lebih dari gerombolan manusia pragmatis yang selalu larak lirik mencari kepentingan pribadi atau golongan.

Dunia politik dengan segala intriknya, mestinya tidak membuat kita sebagai mahasiswa merasa phobi apalagi sampai tingkat yang lebih ekstrim; mengharamkan. Tapi justru, dunia itu harus dimasuki dengan berbekal idealisme, pengetahuan dan wawasan serta ketundukan kepada ajaran-ajaran tuhan yang selalu diletakkan diatas segala-galanya. Kita harus belajar mengaplikasikan teori yang kita dapat untuk melakukan perubahan, pencerahan, dan pembelajaran. Bukan lari dari kenyataan dan bermimpi diruang-ruang sempit berharap perubahan akan terwujud secara tiba-tiba.

Gerakan mahasiswa Indonesia pra kemerdekaan dapat kita contoh sebagai dinamika pergerakan politik yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan. Tanggal 20 Mei 1908, bisa dicatat sebagai pondasi awal pergerakan mahasiswa Indonesia dalam struktur dan mekanisme organisasi modern. Sejumlah pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar di STOVIA saat itu, merasa perlu membangun sikap kritis terhadap kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu rantai penjajahan. Keresahan mereka untuk membangkitkan kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, mendorong mereka untuk mendirikan Boedi Oetomo.

Pergerakan mahasiswa Indonesia pada dekade itu ternyata tidak hanya berkembang didalam negeri saja. Di Belanda, Mohammad Hatta yang pada saat itu sedang belajar di Handelshogeschool Rotterdam, mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging pada tahun 1922 dan pada akhirnya berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Hatta bersama kawan-kawannya saat itu sangat intens melakukan berbagai diskusi untuk membincangkan strategi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Kita, sebagai mahasiswa hari ini tidak lagi harus membicarakan bagaimana Indonesia lepas dari imperialisme. Tapi perjuangan kita lebih khusus harus diarahkan kepada usaha untuk mengisi kemerdekaan tersebut dengan idealisme dan fikiran kita pada hari ini. Belajar, berdiskusi ilmiah, melengkapi diri dengan skil, berorganisasi, dan sebagainya adalah garis perjuangan kita pada hari ini. Dan bagi saya, berpolitik praktis juga termasuk garis perjuangan mahasiswa pada hari ini. Apakah kita akan membiarkan bangsa ini terus dipimpin oleh mereka yang secara fisik sudah tidak mampu lagi, atau secara moral sudah terbukti korup?

Terkadang saya berkhayal, alangkah dinamisnya jika gerakan mahasiswa diarahkan kepada kompetisi positif yang berwibawa dan bersahaja. Semua mahasiswa memainkan peran aktifnya. Partai politik yang eksis tidak harus satu atau dua, lebih dari itu akan semakin memperkaya dinamika. Karena dengan demikian akan selalu terwujud proses dialektika politik yang sehat, kontrol politik yang beretika dan pada akhirnya mempercepat tingkat kematangan berfikir kita.

Bahkan saya sangat berharap, kawan-kawan masisir yang pada hari ini sibuk dengan aktifitas kuliah, talaqi, kursus, berorganisasi, berbisnis dan sebagainya, ketika pulang ke tanah air harus ada sebagian yang mampu menggantikan kursi bapak-bapak dewan dan tokoh-tokoh pemimpin yang sudah tidak sanggup lagi duduk berlama-lama untuk membincangkan persoalan rakyat, sudah kehabisan ide kreatif untuk membangun masyarakat, bahkan mereka juga seharusnya sudah berfikir untuk melakukan regenerasi kepemimpinan kepada kaum muda yang lebih cerdas, sehat dan kreatif agar proses pembangunan bangsa bisa bergulir cepat.

Dinamika masisir yang sarat dengan aktifitas yang progresif diharapkan mampu saling bersinergi satu sama lain. Sikap klaim kebenaran sepihak, atau menuding pihak lain, menutup komunikasi dan silaturahmi, persaingan yang tidak sehat, berfikir sempit dan hipokrit, dan menutup rapat kebebasan berdinamika bagi orang lain sudah seharusnya kita karantinakan agar kehidupan masyarakat mahasiswa di Mesir mampu mencerminkan prototype masyarakat yang agamis, demokratis, egaliter dan cendikia.

Kehidupan akan terus bergulir ketika jarum waktu dengan pasti mengantarkan setiap anak manusia melewati fase-fase perjalanan panjang dari generasi ke generasi. Boleh jadi, cita-cita besar yang kita canangkan hari ini baru akan dinikmati oleh satu, dua bahkan tiga generasi yang akan datang. Semoga satu fase kehidupan kita di muka bumi ini bisa mewariskan investasi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir! Wallahu a’lam

Ketika Cinta Harus Diekspresikan…!

Ketika Cinta Harus Diekspresikan…!

@ Joko Sumaryono

 

Suatu hari, seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama Khubaib RA berada dalam tawanan kaum musyrikin Qurays. Abu Sofyan yang saat itu masih musyrik sempat menguji Khubaib dengan sebuah pertanyaan. “Wahai Khubaib, apakah engkau bersedia jika nabimu yang bernama Muhammad dipenggal lehernya untuk menggantikan posisimu dan engkau akan kami bebaskan untuk kembali kepada keluargamu?”. Dengan lantang dan berani Khubaib menjawab: “Demi Allah, aku tidak rela jika  Rasulullah SAW disakiti dan berada dalam posisiku seperti saat ini, sedang aku duduk bercengkerama bersama keluargaku”.

Sungguh menakjubkan! Ekspresi cinta yang diungkapkan Khubaib RA terhadap Rasulullah SAW telah menggetarkan relung perasaan Abu Sofyan pada hari itu. Kemudian dengan lirih Abu Sofyan berucap: “Sungguh aku belum pernah melihat diantara manusia seseorang mencintai sahabatnya seperti ekspresi cinta sahabat Muhammad kepada Muhammad”. Subhanallah.

Ekspresi cinta yang telah diungkapkan Khubaib bukanlah ekspresi cinta buta, atau taklid, atau karena fanatisme tak beralasan. Ekspresi yang lahir adalah buah dari cinta yang dibangun dengan keimanan dan keikhlasan yang sesungguhnya. Cinta yang telah dibangun dengan pondasi yang sangat kokoh dalam sekolah kehidupan yang ia jalani bersama Rasulullah saw. Baginya, yang berharga dalam hidup ini bukanlah kemewahan, pangkat dan jabatan, bahkan nyawanya sekalipun. Tapi hal yang lebih berharga bagi dirinya adalah keselamatan Rasulullah saw dan eksistensi risalah dakwah yang sedang ia perjuangkan.

Adakah yang lebih berharga bagi seseorang di dunia ini selain diri serta nyawanya? Dan apakah setiap orang mampu menyerahkan yang paling berharga yang ia miliki untuk orang lain? Jika pun ia terpaksa menyerahkannya, apakah ia mampu memberikannya dengan penuh keikhlasan dan kecintaan? Khubaib dan para sahabat-sahabat generasi awal telah menjawabnya dalam berbagai mauqif yang tercatat dalam sejarah emas perjalanan dakwah ini.      

Empat belas abad pun telah berlalu begitu cepat sejak Rasulullah mendakwahkan risalah Islam ini. Jatuh bangun peradaban Islam juga telah kita saksikan bersama dalam pentas sejarah yang terus bergulir. Namun ada satu pertanyaan yang terus mengusik alam bawah sadar kita, mengapa kwalitas keimanan dan militansi kita pada hari ini sangat jauh dibandingkan  generasi awal pioneer-pioneer dakwah ini? Bukankah jumlah kita pada hari ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah sahabat terdahulu? Bukankah fasilitas yang kita miliki pada hari ini jauh lebih baik dari apa yang dimiliki Rasulullah dan para sahabat? Tapi mengapa tetap saja kita tidak mampu untuk memimpin peradaban pada hari ini?

Saya teringat dengan sebuah ungkapan hikmah yang diucapkan oleh Imam Syafii dalam salah satu bait syairnya ia mengatakan al muhibbu liman yuhibbu muthi’un (orang yang mencintai seseorang akan selalu taat dan patuh kepada orang yang dicintainya). Bahkan Rasulullah juga dengan tegas mengatakan bahwa tidak sempurna iman seorang hamba sampai ia mampu mencintai Allah dan Rasul melebihi dari cintanya kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab ٌRA adalah salah seorang sahabat yang telah membuktikan hal itu. Inilah yang barangkali membedakan kita dengan generasi awal dakwah ini. Kwalitas cinta lah yang telah membedakan kita dengan mereka. Kwalitas tersebut juga pada akhirnya yang membedakan ekspresi cinta yang diungkapkan para sahabat dengan ekspresi cinta kita pada hari ini.

Adalah sebuah keniscayaan ketika Allah swt mengabadikan pujian-Nya kepada generasi ini di dalam al-Qur’an. Bahkan Rasulullah pun memberikan bintang penghargaan kepada mereka dengan gelar Khairul Qurun Qarni…(sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian setelahnya dan setelahnya…!). Cinta yang dibarengi pengorbanan di jalan jihad, suka dan duka, adalah memori indah para sahabat bersama sang uswah. Ketulusan cinta dan pengorbanan inilah yang telah merubah wajah dunia hingga hari ini.

Lalu mengapa kita begitu penting untuk mengekspresikan cinta kita kepada baginda Nabi SAW? Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat-sahabatnya: “Tahukah kalian siapakah hamba Allah yang paling mulia?” sahabat kemudian menjawab: “Para Malaikat ya Rasulullah, dan para nabi, merekalah yang paling mulia”. Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata: “Ya, mereka mulia tapiu ada yang lebih mulia”. Para sahabat terdiam lalu berkata: “Adakah kami yang mulia itu Ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW kemudian berkata: “Tentulah kalian mulia, kalian dekat denganku, kalian membantu perjuanganku, tapi bukan kalian yang aku maksudkan..” Rasulullah SAW lalu menundukkan wajahnya…Baginda meneteskan airmata sehingga membasahi pipi dan janggutnya kemudian ia berkata: “Wahai sahabatku, mereka adalah manusia-manusia yang lahir jauh setelah wafatnya aku, mereka sangat mencintai Allah dan tahukah kalian mereka tak pernah melihatku, mereka tidak hidup dekat denganku seperti kalian, tapi mereka sangat rindu kepadaku dan saksikanlah wahai sahabatku bahwa aku sangat rindu kepada mereka…merekalah umatku”.

Namun amat sangat disayangkan, kerinduan baginda Rasul SAW kepada kita justru telah kita nodai sendiri pada hari ini. Mayoritas umatnya sudah banyak yang tidak kenal dengan baginda nabi SAW, kepribadiannya, sepak terjang perjuangannya, dan pengorbanan dakwah yang telah ia wariskan berpuluh-puluh generasi sampai hari ini.

Pada hari ini, kita merasa cukup mencintai baginda Nabi dengan mengadakan peringatan hari kelahirannya dengan berbagai acara resmi bahkan sampai upacara kenegaraan. Atau sebagian besar kita justru bangga sudah sempat mengabadikan foto dimakam beliau, atau sebagian kita ukiran nama Beliau sebagai hiasan dan pajangan yang dibuat diatas batu pualam berhiaskan manikam dan sebagainya. Sungguh, kita telah salah dalam mengekspresikan cinta kita.

Mayoritas kita pada hari ini tak mampu mengekspresikan cinta yang sesungguhnya. Semua cinta yang diungkapkan terlalu formalitas bahkan terkesan penuh basa basi. kita sudah tidak lagi tahu hakikat cinta yang seharusnya diekspresikan dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Bahkan loyalitas pun bisa mengalahkan loyalitas penuh kepadanya karena alasan kedudukan atau profesi. Bahkan ketika keagungan namanya dicabik-cabik oleh pers Barat, karikaturnya di tampilkan dengan tendensi hinaan, risalahnya ditafsirkan secara rasialis oleh orang-orang yang hatinya berpenyakit masih banyak diantara kita masih bersikap acuh seolah-olah semua itu adalah hal biasa dan tidak merasa tersinggung.

Namun demikian, juga sangat tidak bijak saat Rasulullah SAW dihina lalu kita membalasnya dengan tindakan balas dendam dan kekerasan, karena hal itu tidak serta merta akan membuat persoalan berhenti sampai disitu saja. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bahwa kejahatan yang dibalas dengan kebaikan adalah sarana terbaik untuk mengajarkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama cinta kasih yang visi misinya adalah memberi rahmat kepada alam dan seisinya.

Kemenangan dan kejayaan peradaban kaum muslimin sepanjang sejarah selalu berbanding lurus dengan komitmen iman dan amal yang berkesinambungan.  Komitmen iman dan amal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman dan pengenalan yang komprehensif sejarah hidup dan perjuangan dakwah Rasulullah saw. Pembelajaran sejarah perlu ditingkatkan lebih dari hanya sekedar menghafal urutan peristiwa saja. Akan tetapi, lebih dari itu adalah pembelajaran nilai dan pelajaran sejarah dari setiap peristiwa tersebut untuk dianalisa dan dikembangkan menjadi sebuah tesis dan kesimpulan.

Disamping itu, membangun kesadaran kolektif untuk menghidupkan sunnah dalam pengertian yang lebih komprehensif, lebih luas dan tidak skeptis juga merupakan salah satu unsur terpenting wujud ekspresi cinta yang sesungguhnya. Kesadaran tersebut harus dibentuk dan dikembangkan dari komponen terkecil tatanan masyarakat sosial, dalam hal ini adalah peran institusi keluarga atau rumah tangga. Orientasi yang dibangun dalam rumah tangga adalah menciptakan generasi yang faham dan mengerti tentang hakikat cinta dan perjuangan Rasulullah SAW.

Institusi sekolah pun, tak kalah penting memegang peranan untuk mendidik dan membangun makna cinta ini. Sistem pendidikan yang selama ini telah kita lalui perlu ditinjau kembali kelayakannya. Karena kenyataanya, out put yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi yang mumpuni secara akademik dan moral. Sangat perlu dikembangkan sebuah metode baru membangun karakter generasi muda saat ini dengan karakter iman dan semangat jihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah kepada generasi muda para sahabat dizamannya.

Ketika cinta harus diekspresikan, ketika loyalitas harus memilih, dan ketika kesadaran bangkit untuk berbenah diri, maka tidak ada kata lain selain menjadikan Rasulullah SAW sebagai contoh tauladan terbaik, mengikuti sunnahnya, berkorban untuk membelanya serta yang terpenting lagi adalah meneruskan estafeta dakwahnya dalam suka maupun duka.

Wallahu a’lam

Muhammad